Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Satu Abad NU: antara Khittah dan Syahwat Politik

7 Februari 2023   17:48 Diperbarui: 7 Februari 2023   21:47 599 11
Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) masih diramaikan perdebatan klasik, perlu tidaknya NU berpolitik praktis. Padahal seharusnya, isu tersebut sudah selesai sejak 1926 yang dikuatkan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Perdebatan klasik saat ini, dimulai setelah KH Yahya Cholil Staquf terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke -34 di Lampung, akhir 2021 lalu. Ketika itu Gus Yahya langsung menyeru tekad untuk mengembalikan marwah NU sebagai organisasi keagamaan yang hanya mengurusi umat dari sisi agama, pendidikan dan ekonomi.

Keinginan Gus Yahya juga sejalan dengan seruan berbagai pihak, termasuk Presiden Joko Widodo untuk mengikis politisasi agama dan identitas kesukuan dalam kontestasi elektoral.

Kebijakan Gus Yahya dianggap merintangi jalan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhamin Iskandar. Dengan tidak diperbolehkannya pengurus dan atribut NU digunakan dalam politik praktis, maka langkah politik Muhaimin yang selama ini ditopang kader-kader NU struktural, seperti dalam kasus penolakan terhadap Mahfud Md sebagai cawapres Jokowi menjelang gelaran Pilpres 2019, menjadi tersendat.

Pasca teguran PBNU terhadap PCNU Sidoarjo dan Banyuwangi yang dianggap memfasilitasi deklarasi pencapresan Muhaimin, belum ada PCNU yang berani melakukan pelanggaran serupa. Terlebih setelah Muhaimin terangan-terangan menabuh "genderang perang". Ungkapan "NU Kultural Wajib Ber-PKB, Struktural Sakarepmu" menimbulkan luka bagi Nahdliyin yang masih menghormati kyai dan dipastikan sulit disembuhkan.

Bukan rahasia lagi, mayortias pengurus PBNU adalah kyai kharismatik dan memiliki pondok pesantren di daerahnya. Mereka umumnya berada di posisi Mustasyar (penasihat) dan Syuriyah (pembina) dan memiliki Rais Aam sebagai penentu arah kebijakan organisasi.

Pelibatan NU dalam politik praktis bukan hal baru. Tercatat sudah dua kali NU memposisikan diri sebagai kekuatan politik praksis sejak kelahirannya tanggal 31 Januari 1926. Pertama ketika NU menjadi partai politik peserta Pemilu 1955. Saat itu NU mampu berada di urutan ketiga dengan meraih dukungan sebesar 18,41% suara nasional atau 45 kursi DPR, di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.

Dalam perjalanannya, saat dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU menyeru untuk meninggalkan dunia politik praktis dan kembali menjadi organisasi keagamaan sesuai khittahnya. Keputusan ini diambil dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984.

Namun Gus Dur juga yang kemudian "mendorong" warga NU berpolitik dengan mendirikan PKB. Meski dalam berbagai forum ditegaskan PKB bukan (alat politik) NU melainkan partai terbuka, namun tidak bisa disangkal jika kelahiran PKB dibidani oleh para pengurus NU sehingga keduanya sangat identik. Inilah kali kedua warga Nahdliyin mempunyai partai.

Selepas era Gus Dur dan naiknya Muhaimin sebagai pengendali PKB, kian sulit membedakan PKB dengan NU. Meski masih banyak warga Nahdliyin yang berkhidmat di partai lain, namun hanya PKB yang merasa sah mengklaim sebagai partainya Nahdliyin.

Momentum Satu Abad NU harus bisa menjadi penegas (kembali) Khittah 1926 sebagaimana keputusan Muktamar Situbondo 1984 yang monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah.

Pengertian Khittah NU mencakup dasar-dasar paham keagamaan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah yang mendasarkan pahamnya pada Al-Qur'an, sunnah, ijma' dan qiyas, serta sikap kemasyarakatan, perilaku, ikhtiar, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa. Ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik mana pun. Poin inilah yang menjadi dasar NU netral (tawassuth) dalam berpolitik.

Dalam konteks kekinian, di mana pertentangan politik sangat hitam-putih, kembali pada sikap netral menjadi sangat urgen untuk menyelamatkan biduk NU yang disesaki Nahdliyin. Jangan lagi ada dukungan NU secara kelembagaan yang dibarter dengan jabatan menteri atau jabatan politik lainnya.

Sebab sosok yang ditunjuk untuk jabatan politik itu, sekalipun kader NU, belum tentu jabatannya bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Belum tentu kebijakan dan program kerjanya benar-benar merepresentasikan kepentingan NU secara luas. Jangan-jangan dia justru ibarat buah semangka di mana luarnya hijau namun dalamnya merah, kuning atau bahkan biru.

Dukungan yang diberikan kepada pemerintah, pusat maupun daerah, harus senantiasa didasarkan pada kebijakan dan program kerjanya. Sekali pun ada tiga anggota kabinet berasal dari NU, namun jika kebijakan pemerintah merugikan Nahdliyin, NU harus berani mengkritisi dan bila perlu menolaknya secara tegas.

Sebaliknya, sekali pun tidak ada kader NU yang duduk di kabinet, namun kebijakan yang dibuat pemerintah mengakomodir kepentingan Nahdliyin, selaras dengan Khittah1926, maka NU pun harus jujur untuk memberikan dukungan.

Jika terjebak dalam satu parrai politik, hal itu tidak mungkin bisa dilakukan. Dalam beberapa kesempatan, PKB bahkan berani "menjual" NU ketika melakukan bargaiining position dengan kekuatan politik lain.

NU harus terus menerus merawat umat, kebangsaan, dan keberagaman di mana hal itu menjadi mustahil jika masih menjadi pendukung partai politik. Bagaimana mungkin berbicara kepentingan anak-anak bangsa secara keseluruhan sementara pada saat yang sama satu kakinya dirantai oleh partai politik.

Tidak cukup hanya PKB untuk memperjuangan pemberdayaan warga Nahdliyin yang sangat besar. Jangan sampai ketika PKB kalah dalam kontestasi politik, mayoritas Nahdliyin yang menderita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun