Jika mengacu pada ketentuan pasal di atas, tentu tidaklah demikian. Jika dipaksakan, maka akan ada banyak lagi istri kombatan ISIS yang kehilangan status WNI padahal mereka tidak pernah ikut ke wilayah ISIS dan sampai saat ini masih tinggal di Indonesia.
Jika pasal kehilangan status WNI itu hanya diterapkan kepada istri yang ikut ke wilayah ISIS, tentu tidak memenuhi asas keadilan dan persamaan di depan hukum (equality before the law).
Bagaimana jika kedua orang tuanya (bapak dan ibu) kehilangan status WNI, apakah anaknya juga ikut kehilangan hak itu?
Jawabannya, tidak ada satu pasal pun yang menyatakan demikian. Hak itu tetap melekat sepanjang tidak melakukan delapan hal yang menjadi penyebab gugurnya status WNI, dari huruf (a) hingga (h) pasal 31 UU Kewarganegaraan.
Apakah merobek dokumen kenegaraaan seperti paspor dapat menghilangkan status WNI seseorang? Lagi-lagi, jawabannya tidak. Jika pun itu pelanggaran, maka hukumannya adalah pidana, bukan pencabutan status kewarganegaraan.
Terakhir, apakah terhadap seseorang yang memiliki potensi menjadi penjahat (baca: teroris) negara dapat menggugurkan status WNI-nya? Sayangnya jawabannya tidak.Â
Buktinya, terhadap mereka yang jelas-jelas sudah melakukan aksi terorisme, contohnya pengeboman sambil menyeru jihad, tidak pernah dihukum dengan pencabutan status kewarganegaraannya.
Apalagi hanya baru asumsi, dugaan, atau bahkan hanya fobia sekelompok orang. Terlepas suka atau tidak, UU yang ada tidak memberi ruang untuk menghukum sampai dengan pencabutan status WNI. Jadi jangan membuat aturan sendiri di luar ketentuan UU.
Jika memang ada masalah, dianggap tidak mewakili perasaan atau keinginan warga bangsa lainnya, maka segera lakukan perubahan atau revisi UU. Tetapi hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghukum seseorang dengan aturan yang belum ada karena UU tidak berlaku surut.
Langkah terbaik pemerintah, mestinya tidak dengan mengumbar pernyataan kontraproduktif karena hanya akan menimbulkan pro-kontra.Â
Silakan pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan kajian hukum yang ada. Jika keputusannya masih mengakui mereka yang kini terkatung-katung di Suriah sebagai WNI, segera berikan solusi dan perlindungan.
Bukankah kita telah sepakat tidak ada penghakiman di luar persidangan? Jadi jangan langsung menuding mereka bersalah sebelum adanya putusan pengadilan.
Bukankah kita telah sepakat, hukuman tidak dimaksudkan sebagai ajang balas dendam? Buktinya diadakan lembaga pemasyarakatan. Jika setelah melalui proses peradilan terbukti mereka bersalah, lakukan pembinaan dengan menggunakan badan atau lembaga-lembaga yang ada.Â