Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Catatan Kecil untuk Presiden Jokowi

19 Oktober 2019   13:04 Diperbarui: 21 Oktober 2019   18:09 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo. Foto: KOMPAS.com/Antara

Alasan utama ketika pada Pilpres 2014 saya mendukung dan ikut mengkampanyekan Anda melalui media sosial adalah munculnya harapan bagi orang-orang biasa yang tidak memiliki "darah biru" bisa menjadi presiden.

Jika kemudian di tahun 2019 saya golput, hal itu tidaklah mengurangi legitimasi Anda meski ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan sebelum Anda menjalankan masa pengabdian di periode kedua.

Hanya mereka yang buta hati tidak bisa melihat capaian pembangunan infrastruktur dalam 5 tahun terakhir. Hanya mereka yang picik nurani yang tidak dapat merasakan gelora yang Anda suarakan untuk mengubah paradigma pembangunan menuju Indonesia sentris.

Bahwa ada beberapa persimpangan di mana Anda terkadang memutuskan untuk memunggungi  aspirasi mayoritas, saya dapat memahaninya karena Anda mengelola beragam kepentingan, seribuan keinginan.

Berangkat dari pemahaman itu pula, izinkan saya mengungkap beberapa hal yang mengusik. Semoga bisa dimasukkan sebagai catatan dalam agenda besar periode kedua yang sebentar lagi akan Anda tunaikan.

Pertama, terkait penguatan isu primordial. Menurut saya, penguatan politik identias yang terkadang menghangatkan situasi dan bahkan menggoyahkan sendi kebangsaan, terjadi karena orang-orang di sekitar Anda gagap dalam memetakan persoalan sehingga tidak ada penyelesaian yang komprehensif.                                                                                                                                                           

Yang terlihat justru semangat untuk melakukan perlawanan balik terhadap orang-orang yang berbeda pendapat, beda pilihan politik, dengan cara-cara serupa layaknya balas dendam. Hujatan dibalas hujatan, makian dibalas makian.

Bahkan dalam beberapa kasus, "pembalasan" itu melebihi serangan yang dilontarkan. Sepertinya ada upaya untuk melumpuhkan mereka yang dianggap lawan hingga ke akar-akarnya, tidak cukup hanya sampai pada pembawa hujatan.

Kedua, pertarungan ideologi nasional dengan (politik) agama terlalu vulgar karena melibatkan massa di tingkat akar rumput. Tidak lagi sekedar pertarungan  di ruang-ruang pembahasan yang telah disediakan oleh konstitusi. 

Semua tempat dan kesempatan digunakan untuk mendorong tercapainya ideologi yang diyakini dengan menggunakan alat kekuasaan.

Benar, kelompok oposisi- setidaknya yang berpikiran demikian, telah terlebih dahulu menggunakan ruang publik untuk memaksakan kehendak. Benar, mereka menggunakan isu-isu yang bersinggungan dengan SARA untuk memenangkan pertarungan nalar politiknya.

Tetapi membalasnya, sekadar tidak mengatakan memberangus, dengan cara-cara yang tidak elegan, bahkan "mengingkari" konstitusi dan semangat reformasi, tentu sangat tidak bijak.

Sepanjang pemahaman saya, meski tidak menafikan adagium politik itu kotor, pemenang sejati adalah mereka yang tidak menghabisi lawan dengan cara-cara yang jauh dari sikap seorang ksatria.

Sebagai pemimpin negara, tentu hal demikian harus dihindari. Bahwa mereka berbeda pakaian, berbeda aspirasi, berbeda cara pandang, tidaklah mengurangi haknya sebagai warga negara untuk mendapat perlindungan. 

Mereka adalah juga rakyat Anda. Dalam sebuah "diskusi" antar dua kelompok masyarakat, negara tidak boleh menjadi alat kepentingan  satu kelompok di antaranya atas dasar persamaan preferensi politik.

Ketiga, semangat berdikari yang di dulu digelorakan Bung Karno harus tetap menjadi dasar dari setiap pengambilan kebijakan di bidang ekonomi. 

Gelora pambangunan, pembukaan pasar dan tenaga kerja seluas-luasnya sebagai konsekuensi globalisasi, tidak boleh menjadi pembenar pengingkaran terhadap semangat kedaulatan politik dan ekonomi.

Indonesia harus dibangun atas dasar kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk golongan pemilik modal saja, apalagi pesanan pihak luar. Saya percaya Anda tidak mau melakukan hal itu. 

Tetapi sayangnya, saya melihat dan merasakan adanya beberapa kebijakan yang mengarah ke sana, setidaknya tercemari kepentingan ke arah itu.

Keempat, perang melawan korupsi adalah salah satu agenda reformasi yang belum selesai. Dalam beberapa hal, korupsi telah menjadi budaya, bahkan termasuk kategori extraordinary crime yang setara dengan gonesida dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Oleh karenanya pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan ekstra sambil mendorong terciptanya lembaga penegak hukum konvensional yang benar-benar sesuai dengan amanat yang diberikan.    

Saat ini, tanpa bermaksud mengecilkan upaya reformasi di tubuh Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman, baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saya, dan sebagian teman-teman saya, percaya masih bekerja sesuai harapan.

Alangkah elok jika Anda memperkuat kedudukan dan kewenangan KPK, setidaknya seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Pengurangan kewenangan yang dimiliki KPK, bukan saja mencederai harapan mayoritas rakyat Indonesia, namun juga, saya yakin, tidak sesuai dengan hati nurani Anda.

Upaya delegitimasi hingga pendiskreditan terhadap KPK melalui isu-isu "murahan" yang dilakukan sekelompok orang yang ditengarai diremote dari dalam tembok, tidak akan mengurangi hormat dan asa saya pada KPK.

Jadi, saya mohon Anda sudi (kembali) berdiri di depan untuk melawan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK. Caranya tentu bukan dengan mendukung revisi UU KPK karena revisi itu didasari semangat "jahat" untuk mempreteli kewenangan KPK yang menjadi ruh upaya pemberantasan korupsi.  

Kelima, saya termasuk yang percaya dan kagum pada keteguhan sikap dan ketegasan Anda dalam memimpin. Tetapi kompleksitas mengelola negara adalah juga realita yang terkadang tidak sanggup ditangani sendirian. 

Lembaga pengawas dan perangkat perundang-undangan yang ada acapkali tidak cukup untuk menangkal  masuknya pengaruh lain melalui saluran-saluran yang mungkin saja tidak terjangkau.

Oleh karena, izinkan saya memohon kepada Anda untuk tetap membiarkan masukan dan kritik, yang terkadang sangat pedas. Tidak harus semua satu suara karena hal itu justru akan memberi jalan pada tegaknya tirani yang sama-sama tidak kita inginkan, yang dulu sama-sama kita runtuhkan.    

Saya hanya satu dari di antara ratusan juta warga bangsa. Suara saya, surat terbuka ini, tidak akan sampai dan tidak mampu memberi warna. 

Tetapi konstitusi kita telah memberi hak kepada saya untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan saya tengah menggunakan hak itu sehingga tidak harus dibebani keharusan apakah tersampaikan ataukah tidak.

Akhirnya, dari lubuk hari yang terdalam, izin saya mengucapkan selamat menjalankan kembali pengabdian untuk 5 tahun ke depan. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan ridho dan perlindungan kepada bangsa Indonesia dan seluruh rakyatnya.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun