Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

OTT Beruntun, Asa KPK di Menit Terakhir

16 Oktober 2019   04:26 Diperbarui: 16 Oktober 2019   14:33 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: KOMPAS.com/Antara

Hari ini, 16 Oktober 2019 menjadi  hari terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK sebagai payung hukum penindakan terhadap para terduga korupsi, terutama terkait operasi tangkap tangan (OTT).

Mulai besok, 17 Oktober 2019, berlaku UU KPK hasil revisi yang sebelumnya telah disahkan DPR bersama pemerintah. Sebab sekali pun Presiden Joko Widodo tidak menandatanginya,  UU baru tersebut otomatis berlaku setelah 30 hari sejak disahkan yakni 17 September 2019 lalu.

Dua hari menjelang "kematiannya", komisioner dan penyidik KPK seperti ingin unjuk bukti jika keberadaannya dengan segala kewenangan yang dimiliki saat ini, tetap dibutuhkan karena korupsi masih merajalela. 

Setelah melakukan OTT di Indramayu dan menetapkan Bupati  Supendi sebagai tersangka penerima suap, KPK melakukan  OTT terhadap Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah XII Refly Ruddy Tangkere. Hari ini juga KPK kembali melakukan OTT terhadap Wali Kota Medan Sumatera Utara, Dzulmi Eldin.

Bisa jadi OTT tersebut merupakan yang terakhir. Sebab setelah UU hasil revisi berlaku, banyak sekali aturan yang melemahkan KPK. Salah satunya menyangkut batasan penyadapan yang harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas. Dan izin baru dapat diberikan setelah penyidik melakukan gelar perkara di depan Dewan Pengawas.

Padahal penyadapan terhadap terduga korupsi menjadi kunci dalam sebuah OTT yang membutuhkan ketepatan dan kecepatan karena biasanya proses pemberian suap berlangsung sangat singkat. Para pelaku juga seringkali menggunakan berbagai macam trik dan istilah untuk menyamarkan.

Oleh karenanya OTT hanya mungkin bisa dilakukan setelah sebelumnya dilakukan penyadapan terhadap para terduga sehingga percakapan yang direkam tersebut dapat menjelaskan konstruksi kasusnya.  

Selain soal pembatasan dan pengawasan super ketat terhadap proses penyadapan oleh penyidik masih banyak pasal pelemahan KPK yang selama ini sudah diulas dan diperdebatkan para pakar.

Upaya ekstraparlemen pun sudah dilakukan mahasioswa yang "dibantu" anak-anak STM. Sayangnya, demo berjilid-jilid tidak mampu meluluhkan hati Presiden Jokowi untuk membantalkan UU KPK yang baru melalui penerbitan Perppu.

Jokowi yang sempat memberi angin setelah bertemu dengan sejumlah tokoh, termasuk Mahfud MD, nyatanya lebih suka mengikuti kemauan partai politik pengusungnya daripada mendengarkan aspirasi sebagain besar masyarakat yang tercermin dalam aksi mahasiswa dan penggiat anti korupsi.

Lebih parah lagi ketika sejumlah akun yang ditengarai sebagai buzzer, melakukan penggiringan opini yang menghancurkan citra KPK dengan istilah-istilah provokatif seperti Taliban, khilafah, dan lain-lain. Pembunuhan karakter juga dilakukan terhadap penyidik dan pegawai KPK, terutama Novel Baswedan, melalui narasi-narasi kebencian dan rasisme.

Mulai besok, wajah KPK akan berubah dratis. Terlebih setelah pelantikan komisioner baru KPK yang telah disahkan DPR. Bukan hanya dibayang-bayangi kesuraman pemberantasan korupsi, ada kekuatiran yang lebih besar di baliknya yakni KPK mendatang hanya menjadi perpanjangan kepentingan politik penguasa karena kewenangan pengangkatan Dewan Pengawas KPK berada di tangan Presiden.

Sekecil apa pun celahnya, toh kita masih berharap di menit-menit akhir ini Presiden Jokowi terketuk untuk membuat keputusan yang menggagalkan upaya pelemahan KPK.

Sungguh kami masih menaruh asa padamu, Bapak Presiden.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun