Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Narasi Wiranto Berjarak Puluhan Tahun dengan Demonstran

30 September 2019   13:31 Diperbarui: 30 September 2019   14:59 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Wiranto. Foto: KOMPAS.com/Kristian Erdianto

Menko Polhukam Wiranto seperti tidak kehabisan narasi untuk melawan aksi demo mahasiswa dan pelajar. Setelah berulang kali menyebut kata "ditunggangi" kini Wiranto mendaur-ulang frasa "melawan konstitusi".

Kata "ditunggangi" sangat akrab dengan orde baru (orba). Dalam berbagai kesempatan, pejabat-pejabat orba dengan sukarela dan senang hati meniupkan kata sakral itu untuk membungkam kritik.

Jangankan kritik terhadap korupsi berjamaah yang dimotori bangsawan Cendana, sekedar menolak tanahnya digusur untuk pabrik, dengan mudah tudingan "ditunggangi" disematkan diikuti sebaris kata lain terutama komunis dan musuh pembangunan.

Frasa "melawan konstitusi" yang diungkap Wiranto ketika menanggapi rumor aksi mahasiswa dan pelajar untuk menggagalkan pelantikan anggota DPR, jelas sangat jadul. Seumuran kata "ditunggangi".  

Frasa ini terakhir "hidup" hampir 20 tahun lalu sehingga wajar jika mayoritas mahasiswa terlebih pelajar, tidak paham.  

Apa itu melawan konstitusi? Wiranto menyebut, anggota DPR yang akan dilantik merupakan wakil rakyat hasil pemilu. Karena pemilu merupakan amanat konstitusi, maka siapa saja yang bermaksud menggagalkan, berarti melawan konstitusi.

Sesederhana itu. Jika dianggap sebagai nasehat dari kakek, tentu sudah sangat lugas dan cheto (Jawa: terang benderang).

Persoalannya, Wiranto kurang tepat dalam menempatkan substansinya. Bahkan jika ditarik lebih jauh, seperti ada kesengajaan untuk mengaburkan esensi demo itu.

Pertama, siapa yang memproduksi narasi "menggagagalkan" pelantikan DPR, dan juga Presiden/Wakil Presiden? Selain kelompok "tidak jelas" yang menumpang isu, narasi itu dibangun sendiri oleh penguasa. Elemen-elemen penguasa dan para pendukungnya yang gemar menaikkan narasi "menggagalkan" dengan tujuan membelah opini.

Mahasiswa, juga pelajar, telah berulangkali menyatakan, aksinya tidak dimaksudkan untuk menurunkan Presiden Joko Widodo, menggagalkan pelantikan periode kedua Jokowi, atau pelantikan anggota DPR/MPR, DPD dan DPRD.  

Tuntutan mereka sangat jelas dan konsisten sampai hari ini yakni batalkan pengesahan sejumlah RUU- termasuk RKUHP, dan terutama terbitkan Perppu KPK setelah DPR mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Akar masalahnya pun sangat jelas. Sejumlah pihak menilai, UU KPK yang baru bertentangan dengan janji Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK.

Kedua, demonstrasi adalah bagian dari hak menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi seperti kemarin disampaikan Presiden Jokowi. Tidak ada pelanggaran apa pun dari aksi mahasiswa, terkecuali bagi mereka yang berbuat anarkis.

Ketiga, DPR memiliki kewajiban konstitusional untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Begitu bunyi amanat konstitusi. Jika anggota DPR tidak melakukan hal itu, maka mereka yang sebenarnya- minimal terlebih dahulu, melawan konstitusi, bukan para pendemo.

Jadi, dari pada sibuk melakukan kontra opini, alangkah lebih bijak jika Wiranto menahan diri. Berikan masukan yang tepat kepada Preisden agar segera mengambil keputusan yang sesuai dengan janji politik dan aspirasi (sebagian besar) masyarakat yang kini tengah disuarakan oleh mahasiswa dan pelajar.

Kita mendukung sepenuhnya langkah tegas aparat keamananan untuk menindak, menggebuk para perusuh, penyusup, pendompleng, penunggang demo mahasiswa. Tangkap dan adili mereka.

Tetapi kita menolak cara-cara orba dalam membungkam kritik, mereduksi kebebasan dengan memberi label-label yang menakutkan. Gunakan frasa yang lebih elegan dan mudah "dipahami" kaum milenial agar tidak ada "jarak" di antara kita.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun