Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengulik Penyebab Kegagalan PSI ke Senayan

25 April 2019   10:40 Diperbarui: 25 April 2019   10:54 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengurus PSI bersama Presiden Jokowi. Foto: KOMPAS.com/PSI

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi salah satu partai politik peserta Pemilu 2019 yang gagal menempatkan kadernya ke Senayan karena perolehan suaranya tidak memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen. Apa penyebab kegagalan PSI?

Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) tIga lembaga survei yakni Litbang Kompas, Indo Barometer dan LSI Denny JA, perolehan suara PSI hanya di kisaran 2-2,37 persen. Ketua Umum PSI Grace Natalie pun sudah mengakui kekalahan partainya dan tidak menyalahkan siapapun atas hasil yang dicapai.

Menurut Grace,  kader dan pengurus serta caleg PSI telah bekerja keras meyakinkan rakyat. "Tapi inilah keputusan rakyat melalui mekanasime demokrasi yang harus kami terima dan hormati," ujar Grace.

Meski demikian, perolehan suara PSI jauh di atas hasil survei sejumlah lembaga sebelum pencoblosan. Saat itu, hampir seluruh lembaga survei menempatkan PSI dalam kelompok partai nol koma alias parnoko. 

"Faktanya" PSI mampu melampaui angka nol koma. Sebuah prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terlebih perolehan suaranya  di atas tiga partai lawas yakni Hanura, PBB dan PKPI. Di antara 4 partai baru, perolehan suara PSI juga hanya kalah oleh Perindo dan bersaing dengan Partai Berkarya.

Tetapi kekalahan tetaplah kekalahan. PSI terbukti gagal memetakan ekspektasi dan preferensi calon pemilih. Berikut beberapa alasan di balik kegagalan PSI.

Pertama, gagal memetakan basis dukungan. Sejak awal PSI memantapkan diri sebagai partai nasionalis sebagaimana PDI Perjuangan. Sebenarnya hal itu memberi keuntungan karena masih sedikit partai yang benar-benar berideologi nasionalis. 

Sayangnya PSI berada dalam satu barisan dengan PDIP sehingga pemilih nasionalis yang pasif tetap memilih berada di kandang banteng karena dianggap sama. 

Ketiadaan figur yang kuat kian melemahkan posisi PSI di hadapan PDIP. Untuk menutup sisi ini, sepertinya PSI pernah berupaya menggandeng mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok atau setidaknya membangun persepsi sebagai yang "sejalan" dengan Ahok, sehingga diharapkan bisa mendapat limpahan suara pendukungnya. 

Tetapi, usai menjalani hukuman selama 2 tahun di tahanan Mako Brimbob dalam kasus penistaan agama, Ahok justru langsung berbaju PDIP sehingga PSI pun kehilangan "tuahnya".    

Kedua, salah sasaran. Ketika menggelorakaniIsu-isu yang berkaitan Islam seperti poligami dan perda syariah, PSI sedang mencoba membidik dua sasaran sekaligus Sasaran pertama adalah kelompok nasionalis yang jika dipersempit lagi adalah mereka yang sudah masuk tahap Islamphobia. Dengan menggelorakan "perlawanan" terhadap hal-hal yang berbau Islam, sepertinya PSI berharap mendapat dukungan kelompok ini.

Sasaran berikutnya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mengapa PKS, karena jika dilihat sepintas, sepertinya PKS sudah menjadi musuh semua bersama bagi kelompok nasionalis dan Islam tradisional (sekedar tidak menyebut Nahdlatul Ulama). Kasus korupsi impor daging sapi yang menjerat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq juga masih menjadi momok bagi partai dakwah tersebut karena masih laku dijadikan senjata lawan. Menyerang PKS berarti sebangun dengan jargon PSI sebagai partai anti korupsi.

Ketiga, terlalu hitam putih. Cara berpolitik PSI mirip dengan artis pemula yang membutuhkan kontroversi agar dikenal masyarakat. Sayangnya  banyak gimmick yang dilakukan tidak tepat, bahkan menjadi blunder. 

Salah satunya ketika PSI menyerang PDIP yang disebutnya kurang nasionalis karena membiarkan tumbuhnya perda-perda intoleran. PSI juga mengkritik sistem rekruitmen calon pemimpin yang dilakukan partai lawas sehingga menyuburkan praktek korupsi.

Kita paham, dengan menyerang PDIP, PSI berharap mendapat limpahan suara nasionalis yang kecewa dengan munculnya perilaku intoleran akibat ketidakberanian PDIP dan partai nasionalis lainnya. Tetapi PDI melupakan satu hal, PDIP adalah partai pendukung utama Presiden Joko Widodo. Menyerang PDIP dengan mudah dianggap sebagai serangan terhadap Presiden Jokowi.

Gimmick lain yang juga menjadi blunder adalah isu syariah. Mengangkat isu Islam yang sensitif sama halnya dengan "membakar rumah sendiri" karena mayoritas kaum nasionalis juga beragama Islam. Isu Islam yang diusung PSI dengan tujuan meredam kelompok puritan, justru dengan mudah dibelokkan menjadi serangan terhadap Islam.  

Peningkatan perolehan suara PKS di tengah berbagai persoalan yang membelitnya dan diprediksi lembaga survei gagal ke Senayan, bisa dijadikan pelajaran berharga bagi kader-kader PSI untuk pandai memilih lawan- meski kita juga tidak menafikan faktor lain.    

Kader-kader PSI harus berani mengakui masih kurang piawai mengemas isu. Strategi penguasaan media (online) dengan cara-cara mengulik isu-isu sensitif dan menyerang siapa saja, terbukti tidak efektif karena pada akhirnya kesan terakhir yang membekas di benak masyarakat.  

Silakan disurvei, mana yang lebih diingat masyarakat, apakah PSI sebagai partai anti korupsi, musuh kelompok intoleran ataukah partai yang (dianggap) memusuhi Islam? 

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun