Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jadi Pengacara Jokowi, Strategi Politik atau Luapan Sakit Hati Yusril? Ini Jawabannya

7 November 2018   09:19 Diperbarui: 7 November 2018   14:30 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yusril Ihza Mahendra. Foto: KOMPAS.com/Achmad Faizal

Keputusan Yusril Ihza Mahendra menerima tawaran menjadi pengacara pasangan petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin seolah antiklimaks dari serangkaian manuver politiknya selama proses penjaringan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. 

Terlebih sebelumnya Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini menjadi salah satu tokoh gerakan ulama kubu Habib Rizieq Shihab yang berseberangan dengan Presiden Jokowi.

Jika menilik proses politik yang terjadi sebelum penetapan capres dan cawapres peserta Pilpres 2019, sebenarnya langkah Yusril tidak terlalu mengejutkan. Sebab dalam beberapa kesempatan sebelumnya Yusril sempat melontarkan sejumlah kekecewaan. 

Salah satunya ketika Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais berupaya menjadi king maker kubu oposisi. Terlebih setelah Amien Rais berhasil "mengendalikan" Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang menjadi kendaraan politik kelompok Rizieq Shihab. 

Sebagai Ketua Dewan Kehormatan PA 212, posisi Amien Rais nyaris sejajar dengan Rizieq Shihab yang menjadi Dewan Pembina tunggal.  

Yusril mengaku tidak mau mengikuti permainan Amien Rais yang dinilainya tidak konsisten. Sekalipun namanya masuk dalam daftar capres dan cawapres yang direkomendasi PA 212, namun Yusril tegas mengatakan sejak awal tidak tertarik dengan inisiatif Amien Rais yang melakukan lobi sana-sini, untuk memilih calon lawan Jokowi.

Kekecewaan kedua Yusril terlontar ketika namanya  tidak masuk rekomendasi hasil ijtima Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama yang digelar di Hotel Peninsula. Hasil ijtima GNPF Ulama hanya merekomendasikan Prabowo Subianto, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri dan Ustad Abdul Somad (UAS). 

Ada dugaan hilangnya nama Yusril untuk menghindari benturan dengan Prabowo karena sama-sama ingin menjadi capres. Sebagai "balasannya" Yusril menolak PBB disebut sebagai bagian dari koalisi yang mengusung Prabowo.

Pertanda akan balik arah semakin jelas ketika Yusril memposting kegusarannya karena ada kesan Gerindra, PKS dan PAN menginginkan PBB masuk liang lahat alias tamat. Salah satu alasannya, pada saat PBB mengalami kesulitan proses verifikasi karena- menurut Yusril, diganjal KPU, tidak ada satu pun dar partai pengusung Prabowo tersebut yang datang membantu. Simpati justru datang dari PDI Perjuangan yang disebutnya partai sekuler.

Yusril kian menegaskan ke mana arah pendulum politiknya setelah menyebut Koalisi Keumatan sebagai fatamorgana karena Prabowo tidak memilih satu dari dua ustad yang direkomendasikan GNPF Ulama sebagai pendampingnya. Pada saat bersamaan, Yusril memuji Jokowi karena mau menggandeng KH Ma'ruf Amin yang notabene ulama besar sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.

Lalu, apakah sikap Yusril ketika menerima tawaran sebagai penasehat hukum Jokowi-Ma'ruf Amin, dapat dimaknai sebagai sikap protes atau bahkan balas dendam terhadap kubu Prabowo, utamanya para ulama? Terhadap hal ini hanya Yusril dan Tuhan yang tahu.  

Namun ada alasan lain yang bisa dijadikan pintu masuk untuk memahami langkah Yusril dan kemungkinan besar PBB secara kepartaian.  

Yusril menyebut dukungannya kepada Jokowi-Ma'ruf didasarkan pada sikap profesionalitasnya sebagai lawyer. Status probono alias gratisan menjadi penegas klaim tersebut. 

Artinya Yusril tidak semata mengejar materi melainkan didorong sikap profesionalnya yang ingin Pilpres 2019 berjalan secara fair, jujur dan adil serta memastikan semua pihak menaati aturan hukum yang berlaku. Yusril pun memastikan dirinya tidak masuk sebagai tim sukses petahana.

Kedua, Yusril tidak membawa partai yang dipimpinannya. Meski masih ada kemungkinan PBB akhirnya merapat ke kubu Istana, namun pernyataan kader senior MS Kaban, bisa menjadi rujukan jika partai pemilik 1,46 persen suara di Pemilu 2014 tersebut akan tetap berada di kubu Prabowo.

Dari dua hal itu, kemungkinan ada aroma balas-dendam bisa ditepis. Yusril sebagaimana juga dikatakan Kaban, memiliki hak untuk menjalankan profesinya secara profesional tanpa batasan atau sekat politik.  

Lalu bagaimana dengan kekecewaan yang sempat dilontarkan sebelumnya? Tetap belum bisa dijadikan dasar penilaian adanya balas-dendam karena lontaran berbeda dengan pihak yang didukung, bukan barang haram. Bahkan PKS yang sudah menjadi  partai pengusung masih suka mengutak-atik dukungannya sebagai bagian dari bargaining politik. 

Bukankah kita boleh memaknai serangan Yusril terhadap kubu Prabowo sebagai upaya menaikkan posisi tawar? Bahwa kubu Prabowo tidak merespon, itu soal berbeda.

Tetapi menyebut langkah Yusril murni sikap profesionalitas, juga terlalu gegabah karena menafikan tanggungjawabnya sebagai ketua partai untuk membawa PBB ke Senayan. Kita justru lebih meyakini sikap Yusril didasari keinginan untuk mendongkrak suara PBB di Pemilu 2019.

 Selama mengikuti Pemilu, PBB hanya bisa menempatkan wakilnya di Senayan sebelum adanya ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yakni pada Pemilu 1999 dan 2004 di mana PBB meraih suara 2 persen dan 2,6 persen.

Di Pemilu 2009, PBB gagal menempatkan kadernya di DPR karena hanya memperoleh 1,7 persen, jauh di bawah ambang batas parlemen yang ditetapkan sebesar 2,5 persen. Naiknya parliamentary threshold di Pemilu 2014 menjadi sebesar 3,5 persen kian memperpuruk PBB yang hanya mendapat 1,46 persen.

Meski meyakini akan berjaya di Pemilu 2019, namun Yusril tentu paham jika tidak ada terobosan signifikan, perolehan suara PBB sangat mungkin tidak bisa melewati angka 3 persen, padahal ambang batas yang ditetapkan sebesar 4 persen.

Mengapa demikian? Salah satunya karena basis suara PBB sangat sempit yakni eks pengikut dan simpatisan Partai Masyumi yang pernah berjaya di masa orde lama namun kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Sayangnya, saat ini suara Masyumi terpecah ke beberapa partai lain terutama PAN dan PKS.

Satu-satunya jalan untuk dapat melawati angka kutukan 3 persen, dan bila mungkin 4 persen, hanya dengan membuka diri terhadap suara kaum Islam nasionalis yang selama ini lebih banyak menyalurkan aspirasi politiknya melalui PDIP. 

Penguatan suara Islam di tubuh PDIP yang ditandai dengan pembentukan Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) dapat menjadi sinyal positif bagi PBB untuk mencoba melakukan pendekatan.

Jika pun gagal mendapat cipratan suara, minimal PBB "aman" dari labelisasi pendukung khilafah yang menguat setelah Yusril menjadi pengacara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)- yang kini sudah dibubarkan pemerintah.

Akankah perjudian politik Yusril dengan menjadi pengacara Jokowi-Ma'ruf akan berbuah manis untuk PBB? Meski peluangnya sangat kecil, namun kita patut mengapresiasi ikhtiarnya.

Salam @yb 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun