Sementara Kevin Costner cukup sukses mengisi suara Enzo. Monolognya sangat lucu dan terasa pas pada setiap mimik dan tingkah konyol Enzo setiap harinya. Bahkan monolognya bisa menjadi semacam penghibur pada tiap adegan serius yang tak jarang berujung pada momen sedih.
Di mana bagi penonton yang menyukai penceritaan yang berorientasi pada detail bisa jadi akan kecewa. Hal tersebut dikarenakan film ini masih menyisakan banyak momen yang menggantung dan tak dijelaskan lebih lanjut serta transisi yang cukup cepat pada beberapa adegannya. Hal yang memang biasa ditemukan pada jenis film seperti ini.
Pun tak ada yang spesial dari sinematografi dan color grading yang dipilih pada film ini. Semuanya terasa biasa saja namun tak bisa juga disebut buruk.
Namun kesederhanaan itulah yang membuat film ini menarik untuk disimak. Sebuah film keluarga yang memang cenderung memiliki jalan cerita linear nan sederhana, sisi teknis yang juga sederhana, namun memiliki makna kehidupan yang begitu mengena di hati.Â
Namun ketika kita merasa bahwa film ini berjalan datar-datar saja dengan segala momen kebahagiaan dan haru yang mewarnainya, kita justru akan dikejutkan oleh konflik besar yang cukup menyebalkan mendekati akhir film. Hal inilah yang lantas membuat The Art of Racing in The Rain terasa lengkap sebagai film keluarga.Â
Karena momen kegagalan ada, keberhasilan juga ada, kesedihan ada, pun momen-momen sulit yang menuntut sang tokoh utama bangkit dan berjuang lebih keras lagi pun ada.
Dan The Art of Racing in The Rain nyatanya bisa mengakomodir segala yang kita harapkan pada sebuah film bertemakan kehidupan. Sebuah film yang tak hanya bercerita tentang hubungan anjing peliharaan dengan sang tuan, namun juga memberikan gambaran kehidupan yang realistis bagi setiap penontonnya.
Bahwasanya hidup layaknya sebuah arena balap. Selalu ada kejutan dan kesulitan yang menghadang. Namun intuisi dan fokus sang pebalaplah yang kelak akan menentukan di posisi mana ia berada saat menyentuh garis finish.