Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama FEATURED

Netflix dan Perkembangan "Streaming on Demand" pada Industri Video Gim

10 Februari 2018   22:15 Diperbarui: 6 April 2019   15:22 8485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Remote tv itu sudah ku tekan entah yang ke berapa kali. Channel pun sudah berganti dengan cepat. "Gak ada film yang menarik", aku bicara dalam hati saat itu. Segera kutekan tombol smart button pada remote tv ku. Pop up aplikasi pun muncul di layar tv. Netflix kupilih. 

Setelah bingung dengan banyaknya piihan serial dan film yang menarik,bahkan berbeda dari yang ditawarkan tv kabel apalagi tv lokal, akhirnya Stranger Things kupilih. Long story short, sudah lebih dari 2 jam aku duduk tenang maraton serial yang eksklusif ditayangkan di Netflix itu. "Asik juga nih", pikirku saat itu. Film dan serial lain pun seakan memanggil untuk dipilih dan ditonton. Banyak sekali.

Logo awal Netflix(sumber:Wikipedia)
Logo awal Netflix(sumber:Wikipedia)
Tentang Netflix               

Beberapa belas tahun yang lalu, tidak ada yang menyangka Netflix akan bertumbuh seperti sekarang ini. Didirikan pada tahun 1997 oleh Reed Hastings dan Marc Randolph, Netflix yang awalnya hanya sebagai penyedia sewa DVD secara online, pada perjalanannya menjadi perusahaan penyedia layanan video streaming. 

Ya, awalnya Netflix tak lebih dari sekedar perusahaan rental video yang menggabungkan 2 teknologi yang masih terbilang cukup baru saat itu yaitu DVD dan situs pemesanan DVD online. Dengan jumlah pelanggan tak lebih dari 300.000, Netflix saat itu masih menggantungkan bisnisnya pada layanan pos untuk mengirimkan DVD yang disewa pelanggannya. 

Konsep "All you can watch" yang diterapkan Netflix pada saat itu pun cukup menjadi gebrakan. Dimana pelanggan membayar sejumlah biaya berlangganan dan bisa menikmati sewa film tanpa batasan jumlah dan waktu.

Kegagalannya bekerjasama dengan Blockbuster (raksasa penyewaan film pada saat itu dengan 7700 toko di seluruh dunia) untuk membuat situs penyewaan film bagi mereka dan menambah koleksi film bagi perkembangan bisnis Netflix tentunya, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus berkembang. 

Yang kemudian kita semua tahu, bahwa pengguna Netflix sudah menyentuh angka 4,2 juta di tahun 2005 dan di tahun 2007 menjadi awal kebangkitan mereka dalam memulai bisnis yang baru yaitu penyedia layanan Video on Demand. 

Perusahaan film pun sadar bahwa mereka tidak harus selalu bergantung pada Blockbuster, ada Netflix sebagai alternatif baru pendistribusian film-film mereka. Dan di 2013, justru Blockbuster lah yang bangrut karena keterlambatannya dalam menyadari keuntungan dari pesatnya pertumbuhan media digital.

starkinsider.com
starkinsider.com
Pesatnya pertumbuhan Netflix ini juga menjadi awal mereka menyediakan konten eksklusif milik mereka sendiri atau biasa disebut dengan Netflix Originals, dan serial House of Cards di 2011 menjadi titik awal proyek Netflix Originals ini. 

Setelah itu kita tahu, bahwa Netflix sangat rajin menelurkan berbagai film dan serial buatan rumah produksi mereka sendiri. Sebut saja yang saat ini terkenal seperti Stranger Things, Bright, Black Mirrordan yang terbaru Cloverfield Paradox.

Memang untuk penyediaan layanan media digital, bukanlah Netflix yang pertama. Bisa dibilang iTunes Store milik Apple lah yang pada saat itu memperkenalkan konsep toko digital untuk membeli sebuah lagu seharga sebungkus keripik kentang. 

Lagu yang dibeli kemudian bisa ditransfer ke iPod milik pengguna. Namun untuk layanan video streaming on demand, bisa dibilang Netflix lah pelopornya. Akses film dan serial tv Hollywood yang bisa diakses tanpa batas dan tanpa iklan dengan membayar sejumlah biaya berlangganan tersebut, menjadikan Netflix sebagai portal hiburan alternatif yang sebelumnya hanya didominasi oleh tv lokal dan tv kabel.

Sumber (Statista.com)
Sumber (Statista.com)
Jika dilihat dari data statistik diatas yang diambil dari website Statista.com, terlihat jelas bahwa perkembangan Netflix di Q4 2017 menumbuhkan angka yang luar biasa pesat. 117 juta pelanggan, dari total hanya 20 juta pelanggan di 2011. Bahkan mereka mencapai pertumbuhan di angka 200%-an dalam waktu 3 tahun atau tepatnya di Q4 2014. Sebuah angka pertumbuhan yang menjanjikan bukan?

Dan jika dilihat dari tingginya angka subscriber di tahun 2017 itu, sebenarnya ada 3 hal yang membuat Netflix semakin diminati banyak orang untuk saat ini;

Konten yang lengkap

Ya, Netflix menyediakan konten film dan serial tv yang bisa dibilang paling lengkap di antara penyedia video on demandyang lain. Dari film lawas, film-film blockbuster terbaru sampai film keluaran rumah produksi mereka semuanya tersedia. Meskipun tak dipungkiri, untuk pasar Indonesia tidak selengkap libraryfilm di negara asalnya.

Kemudahan dan kenyamanan akses

Setelah saya menjadi pelanggan Netflix dan juga layanan VOD lainnya seperti Iflix, terlihat memang Netflix menyediakan tampilan yang "bersih", rapi dan berbeda dengan penyedia layanan lainnya. 

Tentu saja hal ini membuat nyaman pengguna dan membuat mereka betah berlama-lama mengakses Netflix. Juga ketersediaan aplikasi Netflix pada berbagai jenis Platform OS seperti Android dan iOS serta pada aplikasi Smart TV pun semakin memudahkan konsumen mengakses layanannya. Tak lupa, kemudahan cara pembayaran dengan credit card pun menjadi alasan lainnya.

Harga berlangganan yang murah

"Hah, Murah? Di Indonesia mahal bung !". Eits, tunggu dulu. Jika kita menghitung biaya yang dipatok untuk pasar Indonesia yang ternyata sama dengan harga di Amerika Serikat tapi dengan konten yang lebih sedikit dari negara asalnya tersebut, tentu saja mahal. Tentunya hal ini berbeda dengan Amerika, Eropa dan negara Asia lain yang lebih maju dari Indonesia.  

Mahalnya tiket bioskop di negara-negara tersebut (konon ada negara yang mematok tiket bioskop sampai Rp 300.000,- per tiket), menjadikan Netflix sebagai alternatif hiburan bagi mereka. Bagaimana tidak, dengan harga yang lebih murah dari tiket bioskop ditambah bisa diakses dirumah dan didownload pada gadget pribadi untuk disaksikan secara offline menjadikan Netflix primadona hiburan alternatif bagi mereka.

sumber: detik.com
sumber: detik.com
Dan ketiga point itu juga lah yang coba dilawan oleh penyedia konten streaming video lainnya seperti Iflix, Hooq dan Viu (dan masih banyak lagi) yang mulai tumbuh di medio 2014-2015. 

Industri streaming semakin menarik dan ramai, alternatif pilihan banyak namun untuk saat ini saya pikir masih Netflix pemenangnya untuk urusan konten dan tampilan antar muka yang ramah. Untuk harga, saya pikir ketiga perusahaan itu sudah berhasil menyajikan harga layanan yang lebih murah dan cocok untuk kantong orang Indonesia saat ini.

Konsep bisnis Netflix pada Industri Video Game

Tapi setelah dicermati, apakah kesuksesan Netflix ini dapat berdampak pada pertumbuhan terapan streaming on demandpada industri lainnya? Terlepas dari ketiga industri penyedia konten film dan serial TV digital lain yang sudah saya sebutkan di atas.

Saya rasa jawabannya adalah "ya". Kenapa? Karena kesuksesan yang diraih Netflix pastilah akan membuka mata pelaku industri lainnya untuk segera "melek" terhadap layanan streaming on demand. 

Semakin membuka mata bahwa konsumen semakin paham dan nyaman terhadap jenis layanan ini. Bagaimana tidak, dengan modal "hanya" koneksi internet yang stabil, konsumen dapat memilih jenis layanan streaming yang diinginkan.

Contoh yang terbaru adalah layanan streaming game yang diluncurkan Sony dan Microsoft di tahun lalu. Dua perusahaan raksasa dalam industri video game ini jelas-jelas mengambil konsep yang sama dengan yang dilakukan Netflix. 

Ya,  game tidak hanya dikembangkan dalam kepingan Blu-Ray fisik saat ini, tapi juga streaming. "All You Can Play", begitu kira-kira taglinenya. Hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, beberapa dekade ke belakang. 

Lalu kemana Nintendo? Saya dengar saat ini mereka juga sedang serius mengembangkan hal yang sama.

sumber: xbox.com
sumber: xbox.com
Saat ini Microsoft menyediakan layanan Xbox Game Pass, di mana layanan ini memungkinkan pelanggan memainkan video game XBOX One dan XBOX 360 baik di konsol XBOX One mereka ataupun di PC sepuasnya. Dengan biaya berlangganan sebesar $9.99 per bulan, pelanggan bebas memainkan video game secara streaming ataupun di-download untuk kemudian disimpan di PC atau XBOX mereka.

sumber: playstation.com
sumber: playstation.com
Pun Playstation juga mengeluarkan hal yang sama namun dengan harga lebih mahal yaitu $19.99 per bulan. Namun sayangnya, layanan milik Playstation ini hanya tersedia versi streaming dan tidak memungkinkan untuk di-download. 

Tapi tetap saja, hal ini menjadi angin segar bagi para gamer yang tidak mau repot membeli banyak kepingan Blu-Ray atau memenuhi Hard Disk Drive mereka dengan game. Cukup koneksi internet stabil, bisa main game sepuasnya.

Hal ini tentunya membuktikan bahwa streaming on demand semakin diminati. Bukan hanya dalam hal menonton film dan serial tv saja, namun juga pada industri game. Bisa dibayangkan bagaimana serunya kita bernostalgia dengan game-game retro tanpa mengeluarkan budget lebih untuk membeli CD/Blu-Ray atau bahkan konsol gamenya, cukup dengan memanfaatkan layanan streaming yang ditawarkan si perusahaan konsol, kita bisa bernostalgia sepuasnya dengan game-game lawas bahkan game yang belum sempat kita mainkan di tahun-tahun yang lalu.

Dengan berkembangnya layanan streaming ini, jelas pola bisnis yang dimainkan Netflix turut andil dalam merubah konsep bisnis perusahaan-perusahaan game tersebut. Konsep all you can watch dapat juga diterapkan menjadi all you can play.

Meskipun saat ini penetrasinya mungkin belum maksimal dalam ranah video game, saya yakin dimasa depan hal ini akan menjadi sesuatu yang umum. Dan tentu saja dimasa depan, konsep ini juga pasti akan dilirik para developer untuk dikembangkan di ranah gadget dengan dukungan Android atau iOS. 

Dengan masa depan Internet Broadband yang semakin baik, bisa kita bayangkan bagaimana game-game di play store atau apps store yang berbayar dapat diakses tanpa batas dengan paket berlangganan tertentu. Dan tentu saja tanpa menghabiskan storage di handphone kita. Tapi ya "ehem.." siap-siap kuota cepat habis.

Tapi semua hal tersebut tentunya akan membuat wajah industri hiburan berubah dengan pesat di masa-masa mendatang. Streaming membuka sebuah era baru. Menandakan bahwa hiburan dan penerapan teknologi didalamnya tidak akan bisa terpisahkan.

"Lalu apakah bisa juga streaming on demanddiaplikasikan pada industri lainnya?"

 Jawab saya, "bisa! Tapi akan dibahas di lain waktu."

"Loh, kenapa di lain waktu?"

"Ini malam minggu, berat jika harus menulis lagi. Kamu tak akan kuat." Jawabku pada percakapan imajinatif dengan Dilan. Dilan..da kelaparan. 

"Mana nih tukang nasi goreng? Gak lewat-lewat !"

Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun