Banyak orang di zaman ini hidup di dua dunia: yang terlihat dan yang disembunyikan. Sebagian besar punya akun utama yang rapi dan penuh pencitraan, lalu akun kedua atau ketiga untuk “menjadi diri sendiri.” Ada pula yang bersembunyi di balik mode incognito—ruang digital tanpa jejak, tempat mereka bisa lepas dari tuntutan tampil sempurna.
Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup daring, melainkan gejala eksistensial manusia modern: pencarian identitas di tengah kebisingan dunia maya. Dunia digital memberi ruang bagi kebebasan, namun juga menumbuhkan kecemasan baru — tentang siapa diri kita sebenarnya di antara sekian banyak wajah yang kita ciptakan.
Eksistensi yang Terbelah
Filsafat eksistensialis mengajarkan bahwa manusia tidak dilahirkan dengan identitas tetap; ia menentukannya lewat pilihan dan tindakan. Namun di era digital, pilihan itu sering kali bersifat performatif — kita menjadi siapa yang paling layak dilihat.
Jean-Paul Sartre menyebut manusia hidup di bawah tatapan “yang lain”. Dalam konteks media sosial, tatapan itu bukan lagi satu atau dua pasang mata, melainkan ribuan, bahkan jutaan.
Maka, sebagian anak muda merasa perlu menciptakan second account — ruang pelarian dari tekanan eksistensial yang ditimbulkan oleh sorotan publik. Di akun utama mereka tampil sopan, produktif, dan ideal. Di akun kedua, mereka menumpahkan segala kegelisahan, kemarahan, atau kejujuran yang tak pantas di ruang publik.
Paradoksnya, di ruang anonim itulah mereka merasa paling jujur. Seolah keaslian baru bisa muncul justru ketika wajah disembunyikan.
Aku–Engkau yang Retak
Martin Buber pernah menulis tentang dua cara manusia berelasi: Aku–Engkau dan Aku–Itu. Relasi Aku–Engkau adalah hubungan sejati — manusia bertemu manusia dalam keutuhan diri. Namun di dunia digital, terutama di ruang anonim, hubungan sering merosot menjadi Aku–Itu. Orang lain dilihat sebagai avatar, komentar, atau konten, bukan pribadi. Di sinilah muncul ironi: manusia ingin bebas dari penghakiman sosial, tetapi dalam kebebasan itu ia justru kehilangan makna perjumpaan yang sejati.
Søren Kierkegaard menyebut anxiety sebagai “pusingnya kebebasan.”
Anak-anak digital kini mengalami bentuk baru dari kecemasan itu: ketika kebebasan untuk menciptakan identitas justru menimbulkan kebingungan akan siapa dirinya yang asli.
Incognito: Ruang Aman atau Pelarian?
Mode incognito awalnya diciptakan untuk melindungi privasi, namun dalam praktiknya menjadi simbol pelarian eksistensial.
Banyak anak muda memanfaatkannya bukan hanya untuk menjaga rahasia digital, tetapi juga untuk “menjadi orang lain”.
Dalam kegelapan anonim itu, manusia merasa tak diawasi, bebas berekspresi tanpa takut dihakimi. Tapi di sisi lain, anonimitas juga melahirkan ruang abu-abu — tempat predator, penipu, dan manipulator bersembunyi di balik topeng.