Kebebasan tanpa kesadaran berubah menjadi jebakan.
Dunia digital akhirnya bukan lagi cermin diri, melainkan labirin identitas di mana seseorang bisa tersesat tanpa sadar.
Krisis Autentisitas di Era Multi-Akun
Fenomena second account menunjukkan paradoks anak zaman ini: ingin jujur, tapi takut terlihat.
Tekanan untuk tampil sempurna di dunia maya melahirkan budaya “identitas ganda”.
Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menyebut absurditas sebagai situasi di mana manusia mencari makna dalam dunia yang diam. Dunia digital adalah bentuk baru absurditas itu — ramai, tetapi sunyi; penuh ekspresi, tapi miskin makna.
Ketika eksistensi direduksi menjadi representasi, manusia kehilangan kemampuan untuk hadir secara otentik.
Anak muda kini lebih mengenal filter daripada wajah mereka sendiri, lebih sering memperbarui profil daripada memahami batin.
Menemukan Diri di Antara Bayangan
Tugas kita bukan melarang mereka punya ruang digital alternatif, melainkan membantu mereka menyadari maknanya.
Bahwa menjadi diri sendiri tidak memerlukan akun baru, tetapi keberanian untuk menerima diri apa adanya.
Bahwa kejujuran tidak harus disembunyikan di balik anonimitas, melainkan dirawat dalam percakapan yang nyata dan tulus.
Masyarakat perlu menciptakan ruang sosial yang aman bagi ekspresi diri tanpa penghakiman, agar dunia maya tidak lagi menjadi pelarian, melainkan perpanjangan dari kemanusiaan.
Pada akhirnya, sebagaimana diingatkan Sartre, manusia dikutuk untuk bebas — tapi kebebasan itu hanya bermakna bila dijalani dengan kesadaran.
Dan di tengah kegelapan incognito, mungkin justru di situlah kita ditantang untuk menemukan cahaya eksistensi yang sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI