Tantangan Ilmiah, Kebijakan, dan Komunikasi Publik
1. Kesenjangan Kapasitas dan Infrastruktur
Banyak daerah budidaya udang di Indonesia berada jauh dari laboratorium uji radioaktivitas yang memadai. Jika kita bergantung pada laboratorium pusat, ongkos dan waktu pengujian bisa besar, sehingga pengawasan masif sulit dilakukan.
2. Transparansi Data dan Kepercayaan Publik
Bila data pengujian disembunyikan atau terlambat diumumkan, publik atau importir bisa menduga ada yang disembunyikan. Dalam kasus ini, media dan masyarakat menuntut agar data radioaktivitas diumumkan secara terbuka agar tidak jadi bahan spekulasi. (Lihat misalnya tulisan di The Conversation: “Pemerintah tidak boleh lengah”). (Bapeten)
3. Koordinasi Lintas Lembaga
Kasus ini tidak bisa diselesaikan sendirian oleh satu lembaga. KKP, BAPETEN, BRIN, BPOM, bea cukai, KKP (Karanta Ikan), dan lembaga riset harus bersinergi. Seringkali tumpang tindih tanggung jawab atau sumber daya menjadi hambatan.
4. Komunikasi Ilmiah kepada Publik
Media dan masyarakat perlu dibimbing agar tidak panik atau termakan hoaks: bahwa “radioaktif = bom atom” atau “semua udang Indonesia tercemar.” Komunikasi harus berbasis data: nilai ambang, latar, dosis, dan probabilitas risiko. Para akademisi dan lembaga penelitian harus ikut aktif menjelaskan interpretasi sains kepada publik.
Ajakan: Membentuk Ekosistem Sains dan Kebijakan Berbasis Bukti
Kasus ini bukan hanya soal udang atau radioaktif; ia adalah ujian integritas sistem mutu, pengelolaan bahan risiko, dan kapabilitas ilmiah kita sebagai bangsa. Sebagai dosen dan peneliti teknologi hasil perikanan, saya mengusulkan beberapa langkah strategis: