Beberapa pekan terakhir, publik perikanan Indonesia diguncang berita bahwa kontainer udang beku diekspor dari Indonesia terdeteksi adanya jejak radioaktif. Di tengah gejolak opini, muncul kekhawatiran: apakah benar udang ekspor kita “tercemar nuklir”? Apa artinya bagi mutu pangan, reputasi ekspor, dan tanggung jawab ilmiah? Sebagai dosen teknologi hasil perikanan, saya melihat ini sebagai momen refleksi. Bukan untuk defensif, tetapi untuk menyadari kelemahan sistem kita dan mendorong perbaikan berdasarkan sains.
Bagaimana Kontaminasi Radioaktif Bisa Terjadi pada Udang?
1. Sumber Zat Radioaktif dan Jalur Masuk ke Produk Laut
Zat radioaktif (radioisotop) dapat berasal dari aktivitas manusia (misalnya limbah industri, peralatan medis atau nuklir, logam bekas yang terkontaminasi) maupun dari sumber alamiah (misalnya radionuklida alam di kerak bumi).
Dalam kasus ini, media massa dan lembaga terkait mengindikasikan radioisotop Cesium-137 (Cs-137) sebagai yang diduga terdeteksi. (Bapeten)
Cs-137 adalah isotop buatan (tidak banyak terjadi secara alami) dan biasa muncul sebagai akibat dari sisa aktivitas nuklir atau residu material radioaktif. Karena sifatnya yang mudah bergerak dalam media air dan sedimen, Cs-137 dapat tersebar melalui air dan dapat terakumulasi dalam organisme laut melalui proses bioakumulasi (organisme menyerap zat dari lingkungannya) atau biomagnifikasi (zat terakumulasi ke tingkat trofik yang lebih tinggi).
Udang, sebagai hewan bentik atau dekat dasar, dapat berinteraksi dengan sedimen atau air yang mengandung radionuklida. Jika lingkungan budidaya atau laut tangkapan terpapar zat radioaktif, maka udang bisa menjadi vektor kontaminasi. Namun, tingkat kontaminasi sangat tergantung pada konsentrasi zat di lingkungan, lamanya waktu paparan, dan efisiensi metabolisme organisme dalam menyaring atau menyingkirkan zat tersebut.
2. Batas Ambang, Latar Radiasi, dan Interpretasi Data
Deteksi jejak radioaktif dalam produk pangan tidak otomatis berarti “berbahaya.” Penilaian harus mempertimbangkan:
Latar radiasi alam — setiap benda atau lingkungan sudah memiliki latar radioaktif alami (misalnya radionuklida dari unsur seperti kalium-40 dalam bahan makanan).
Ambang keamanan — misalnya FDA Amerika Serikat mematok nilai ambang ~ 1.200 becquerel per kilogram (Bq/kg) untuk tindakan wajib (import alert) terhadap udang beku. (Wikipedia)
Data deteksi di kasus ini yang dilaporkan menunjukkan level ~ 68 Bq/kg, jauh di bawah ambang tindakan, namun jauh di atas latar alami — artinya anomali harus diselidiki lebih lanjut sebagai indikasi kontaminasi. (Wikipedia)
Jadi, ada perbedaan besar antara “terdeteksi jejak radioaktif abnormal” dan “terkontaminasi melebihi batas aman.” Sayangnya, di lapangan publik sering mencampur dua makna ini.
Dampak pada Mutu, Keamanan Pangan, dan Kepercayaan Ekspor
1. Implikasi Keamanan Pangan
Jika produk pangan laut terkontaminasi radioaktif di atas batas aman, risiko paparan internal pada manusia bisa muncul jika konsumennya mengonsumsi secara terus menerus (paparan kronis). Efek kesehatan radioaktif umumnya bersifat probabilistik: semakin tinggi dosis, semakin besar kemungkinan kerusakan DNA, risiko kanker, atau kerusakan organ. Namun, dosis rendah dalam satu kali konsumsi biasanya tidak langsung menimbulkan gejala akut.
Di pasar ekspor, pelbagai negara importing memiliki regulasi ketat tentang residu dan kontaminan, termasuk radioaktif (melalui standar Codex, regulasi nasional pengimpor). Jika deteksi di pasar tujuan melebihi ambang, produk bisa ditolak, dikembalikan (re-import), atau bahkan dipublikasikan sebagai recall—yang akan merusak reputasi produk.
2. Risiko Reputasi dan Ekonomi
Penolakan satu kontainer atau pengumuman recall dari distributor di negara tujuan bisa memicu efek domino: citra “produk laut Indonesia rentan tercemar” bisa menyebar luas. Pembeli di negara maju (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang) sangat sensitif terhadap isu keamanan pangan. Sekali reputasi terguncang, pulihnya memerlukan waktu dan usaha ilmiah serta transparansi.
Belum lagi kerugian langsung: biaya pengujian lebih tinggi, biaya logistik untuk retur, audit tambahan, hingga potensi denda atau larangan ekspor.
Titik Rentan dalam Rantai Pasok: Kenapa Traceability dan GHP (Good Handling Practices) Penting
Agar produk kita aman dan bisa dipercaya, tiga pilar utama harus diperkuat:
Traceability (Ketertelusuran Produk)
Setiap unit produk udang sebaiknya bisa ditelusuri asalnya—dari tambak atau laut, proses penanganan, pengolahan, pendinginan, hingga pengiriman. Jika terjadi temuan kontaminasi, kita bisa melacak sumber dan menarik batch terkait (recall spesifik), bukan menghukum seluruh garis produksi.
Traceability juga membantu audit pihak luar dan meyakinkan importir bahwa produk kita transparan dan akuntabel.Good Handling Practices (GHP) dan Pengendalian Proses
Prosedur penanganan di lapangan (penangkapan/ panen), transportasi, pembekuan, dan penyimpanan harus memenuhi standar mutu agar tidak menambah risiko kontaminasi tambahan (baik fisik, kimia, mikroba, maupun radioaktif).
Titik kritis (critical control points) dalam proses—misalnya tempat pengemasan, wadah, pendingin, kontak dinding—harus dijaga agar tidak menjadi pintu masuk kontaminan.Sistem Pengawasan Mutu Ekspor
Laboratorium uji radioaktivitas harus tersedia dan terakreditasi. Tidak cukup hanya uji acak di pelabuhan ekspor, tetapi juga pemantauan berkelanjutan di sumber (tambak, pabrik).
Kerja sama antar lembaga (KKP, BAPETEN, BRIN, BPOM, bea cukai, laboratorium independen) diperlukan agar pengawasan tidak tumpang tindih atau celah.
Di kasus kontainer udang yang diselidiki belakangan ini, BAPETEN bersama pihak Terminal Peti Kemas Koja menyebutkan bahwa truk dan kontainer melewati detektor portal radiasi (Radiation Portal Monitor / RPM) dan dilakukan secondary inspection oleh tim ahli Mobile Expert Support Team (MEST). Hasilnya menyatakan bahwa kontainer tidak menunjukkan kenaikan laju paparan radiasi signifikan dibanding latar. (Bapeten)
Langkah ini penting, tetapi baru bersifat filter akhir — pengawasan harus hadir jauh sebelumnya di lokasi budidaya dan pengolahan.
Belajar dari Kasus: Investigasi Indonesia
Beberapa fakta penting dari kasus ini:
FDA Amerika Serikat menerbitkan import alert terhadap kontainer udang dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS) karena indikasi kontaminasi radioaktif. (Wikipedia)
Dalam pemeriksaan di pelabuhan, kontainer udang beku yang diduga terkontaminasi Cs-137 diperiksa oleh BAPETEN dan pihak terkait; hasil pengukuran menyebutkan laju radiasi di kontainer tidak menunjukkan peningkatan signifikan dibanding latar. (Bapeten)
Pemerintah Indonesia menyebut bahwa asal kontaminasi kemungkinan berasal dari pabrik peleburan baja di kawasan Cikande, Serang, Provinsi Banten. (tirto.id)
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut bahwa mereka menghentikan sementara aktivitas pabrik pengolahan udang di daerah terkait untuk investigasi. (tirto.id)
Dalam pemeriksaan kesehatan (whole-body counter) terhadap warga dan pekerja di kawasan Cikande, sejumlah individu menunjukkan hasil positif untuk jejak Cs-137, meskipun belum ada laporan gejala klinis nyata. (tirto.id)
Kasus ini menjadi “pelajaran hidup” bahwa unsur radioaktif tak selalu berasal dari aktivitas nuklir besar seperti PLTN (yang memang tidak kita miliki), tetapi bisa muncul dari limbah industri atau logam bekas yang tidak diawasi. (tirto.id)
Tantangan Ilmiah, Kebijakan, dan Komunikasi Publik
1. Kesenjangan Kapasitas dan Infrastruktur
Banyak daerah budidaya udang di Indonesia berada jauh dari laboratorium uji radioaktivitas yang memadai. Jika kita bergantung pada laboratorium pusat, ongkos dan waktu pengujian bisa besar, sehingga pengawasan masif sulit dilakukan.
2. Transparansi Data dan Kepercayaan Publik
Bila data pengujian disembunyikan atau terlambat diumumkan, publik atau importir bisa menduga ada yang disembunyikan. Dalam kasus ini, media dan masyarakat menuntut agar data radioaktivitas diumumkan secara terbuka agar tidak jadi bahan spekulasi. (Lihat misalnya tulisan di The Conversation: “Pemerintah tidak boleh lengah”). (Bapeten)
3. Koordinasi Lintas Lembaga
Kasus ini tidak bisa diselesaikan sendirian oleh satu lembaga. KKP, BAPETEN, BRIN, BPOM, bea cukai, KKP (Karanta Ikan), dan lembaga riset harus bersinergi. Seringkali tumpang tindih tanggung jawab atau sumber daya menjadi hambatan.
4. Komunikasi Ilmiah kepada Publik
Media dan masyarakat perlu dibimbing agar tidak panik atau termakan hoaks: bahwa “radioaktif = bom atom” atau “semua udang Indonesia tercemar.” Komunikasi harus berbasis data: nilai ambang, latar, dosis, dan probabilitas risiko. Para akademisi dan lembaga penelitian harus ikut aktif menjelaskan interpretasi sains kepada publik.
Ajakan: Membentuk Ekosistem Sains dan Kebijakan Berbasis Bukti
Kasus ini bukan hanya soal udang atau radioaktif; ia adalah ujian integritas sistem mutu, pengelolaan bahan risiko, dan kapabilitas ilmiah kita sebagai bangsa. Sebagai dosen dan peneliti teknologi hasil perikanan, saya mengusulkan beberapa langkah strategis:
Penguatan laboratorium regional: mendirikan laboratorium uji radioaktivitas yang akreditasi di pulau-pulau kunci perikanan agar pengujian tidak terpusat.
Program pemantauan lingkungan rutin: di laut budidaya dan daerah industri terdekat agar “zona panas” bisa dikenali sejak dini.
Standar nasional radioaktivitas pangan laut: merumuskan regulasi nasional yang jelas (sejalan dengan standar internasional) untuk residu radioaktif pada produk laut.
Pelatihan audit mutu dan penanganan risiko radioaktif untuk petugas pengawasan (KKP, BAPETEN, bea cukai) dan pelaku industri budidaya/olah.
Platform transparansi data publik: agar masyarakat, konsumen, dan importir bisa mengakses data pengujian radioaktivitas produk laut kita.
Kolaborasi lintas disiplin: antara perikanan, fisika nuklir, toksikologi, teknik lingkungan, dan kebijakan publik untuk penelitian bersama mitigasi radioaktif.
Mari kita jadikan kasus ini sebagai momentum pembenahan — bukan sekadar untuk menyelamatkan reputasi udang ekspor Indonesia, tetapi untuk memperkuat kerangka ilmu dan kebijakan di sektor perikanan. Dengan sistem mutu yang bersih, terlacak, dan terpercaya, kita tidak hanya merespons krisis, tetapi mempersiapkan diri untuk masa depan pangan laut Indonesia yang lebih tangguh di pasar dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI