Indonesia sering disebut sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Fakta geografis ini membuat transportasi laut, sungai, dan danau menjadi urat nadi utama yang menghubungkan masyarakat, logistik, dan aktivitas ekonomi. Di tengah keragaman pulau yang dipisahkan lautan, angkutan penyeberangan menjadi simbol perekat bangsa. Dari sinilah peran Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) menjadi begitu vital, bukan hanya sebagai penyedia jasa transportasi, melainkan sebagai penghubung kehidupan. Ferry dan kapal penyeberangan yang beroperasi setiap hari tidak sekadar memindahkan kendaraan dan penumpang dari satu dermaga ke dermaga lain, tetapi juga membawa cerita kebersamaan, harapan masyarakat, dan denyut pembangunan nasional.
Namun, tantangan yang dihadapi ASDP saat ini jauh lebih kompleks dibandingkan era sebelumnya. Dunia sedang bergerak cepat ke arah digitalisasi, sementara pada saat yang sama tekanan untuk melakukan transisi energi hijau semakin menguat. Perubahan iklim, emisi karbon, dan isu keberlanjutan menuntut setiap sektor transportasi untuk melakukan transformasi. Sementara itu, masyarakat semakin terbiasa dengan layanan digital yang serba cepat, praktis, dan transparan. Jika ASDP ingin tetap relevan dan menjadi motor konektivitas nasional, maka ia tidak cukup hanya mengandalkan model lama. Jalan baru harus ditempuh: menjadi ASDP Hijau dan ASDP Digital.
Transformasi digital dalam layanan transportasi sebenarnya sudah dimulai. Saat ini, ASDP telah memperkenalkan sistem tiket online dan pembayaran non-tunai di berbagai rute utama. Namun, digitalisasi tidak berhenti pada sekadar tiket. Bayangkan jika ASDP mampu membangun sebuah ekosistem digital terpadu yang memudahkan penumpang dalam seluruh pengalaman perjalanan mereka. Satu aplikasi super, misalnya, dapat menghadirkan fitur pemesanan tiket, pelacakan kapal secara real time, informasi cuaca laut, hingga rekomendasi destinasi wisata dan layanan UMKM lokal di daerah tujuan. Dengan ekosistem semacam ini, masyarakat tidak lagi membeli sekadar tiket penyeberangan, melainkan sebuah pengalaman perjalanan yang utuh. Penyeberangan pun menjadi pintu masuk menuju ekosistem ekonomi digital yang lebih luas.
Lebih jauh, digitalisasi juga membuka ruang bagi terwujudnya pelabuhan pintar atau smart port. Dengan memanfaatkan teknologi Internet of Things (IoT), arus kendaraan dapat diatur secara otomatis agar tidak terjadi penumpukan. Kapasitas kapal dapat dipantau dengan sensor, sementara informasi keselamatan dan kondisi cuaca bisa diteruskan secara langsung kepada nahkoda dan penumpang. Sistem digital yang terintegrasi akan menjadikan operasional lebih efisien, mengurangi waktu tunggu, dan memberikan kepastian perjalanan bagi masyarakat. Inovasi ini akan menjadikan pelabuhan penyeberangan bukan sekadar titik naik-turun penumpang, melainkan simpul logistik modern yang efisien dan ramah pengguna.
Selain itu, digitalisasi juga menjadi kunci bagi terwujudnya tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel. Dengan memanfaatkan teknologi, ASDP dapat menyajikan dashboard publik yang menampilkan data jumlah penumpang, volume kendaraan, hingga kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Transparansi ini sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang menekankan akuntabilitas dan keterbukaan informasi. Masyarakat tidak hanya menjadi pengguna jasa, tetapi juga mitra yang memiliki akses terhadap informasi tentang bagaimana ASDP dijalankan. Di era keterbukaan, langkah semacam ini akan memperkuat kepercayaan publik sekaligus meningkatkan reputasi ASDP sebagai BUMN yang modern dan profesional.
Sementara itu, agenda besar lain yang harus dijawab ASDP adalah transisi menuju energi hijau. Transportasi laut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon global, dan Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki tanggung jawab besar untuk ikut berkontribusi pada target net zero emission 2060. Di sinilah gagasan ASDP Hijau menjadi sangat relevan. Inovasi pertama yang bisa dilakukan adalah mulai mengoperasikan kapal ferry berbasis listrik atau hybrid biofuel. Praktik ini sudah berhasil dijalankan di berbagai negara. Norwegia, misalnya, menjadi pionir dalam mengoperasikan ferry listrik penuh bernama Ampere yang mampu mengurangi emisi secara signifikan. Jepang juga telah mengembangkan kapal hybrid yang mengombinasikan bahan bakar fosil dan listrik untuk mengurangi konsumsi energi hingga 40 persen. Jika ASDP dapat mengadaptasi model serupa, maka perjalanan penyeberangan di Indonesia dapat berubah menjadi lebih bersih, tenang, dan ramah lingkungan.
Namun, inovasi hijau tidak berhenti pada kapal. Pelabuhan juga bisa dikembangkan menjadi green port yang ditenagai energi terbarukan. Panel surya dapat dipasang di atap terminal untuk menyuplai listrik, sementara sistem pengolahan limbah modern dapat memastikan tidak ada pencemaran yang masuk ke laut. Dermaga-dermaga utama bahkan bisa menjadi hub energi hijau, lengkap dengan stasiun pengisian daya untuk kapal listrik maupun kendaraan darat penumpang. Dengan langkah ini, ASDP dapat menjadi pionir transportasi hijau di Asia Tenggara, sekaligus menguatkan posisi Indonesia dalam agenda global transisi energi.
Dampak dari transformasi hijau dan digital ini akan terasa luas. Dari sisi ekonomi, digitalisasi layanan akan memangkas biaya operasional, mempercepat distribusi logistik, dan membuka peluang bisnis baru, seperti integrasi dengan sektor pariwisata dan UMKM lokal. Dari sisi sosial, masyarakat akan menikmati pelayanan transportasi yang lebih mudah diakses, inklusif, dan aman. Kelompok rentan seperti lansia, difabel, atau keluarga dengan anak kecil akan lebih terbantu oleh sistem digital dan desain pelabuhan yang ramah pengguna. Sementara itu, dari sisi lingkungan, berkurangnya emisi karbon dari kapal ferry dan pelabuhan hijau akan membantu Indonesia mencapai komitmen global dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Perjalanan menuju ASDP Hijau dan Digital tentu tidak mudah. Tantangan utamanya ada pada biaya investasi yang besar, infrastruktur pendukung yang masih terbatas, serta kesiapan sumber daya manusia. Namun, setiap inovasi besar selalu membutuhkan lompatan berani. Dalam konteks ini, ASDP tidak harus berjalan sendiri. Kolaborasi dengan pemerintah, swasta, lembaga riset, dan masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah dapat mendukung dengan insentif kebijakan, swasta bisa terlibat dalam investasi teknologi, sementara masyarakat dapat berperan sebagai pengguna yang kritis sekaligus mitra dalam mewujudkan tata kelola yang transparan.
Inspirasi juga bisa dipetik dari praktik global. Norwegia dengan ferry listriknya, Jepang dengan digitalisasi pelabuhan berbasis kecerdasan buatan, hingga Belanda dengan konsep green port sebagai pusat logistik ramah lingkungan, semuanya bisa menjadi cermin bagi Indonesia. Tentu, adopsi teknologi tersebut harus disesuaikan dengan konteks lokal. ASDP dapat memulai dengan rute-rute prioritas, misalnya Selat Sunda yang padat atau Danau Toba yang menjadi destinasi wisata internasional. Dari sana, model baru bisa diperluas ke rute-rute lain secara bertahap.
Pada akhirnya, transformasi ASDP bukan hanya tentang modernisasi perusahaan, tetapi juga tentang membuka jalan baru konektivitas Indonesia. Sebagai negara kepulauan, konektivitas adalah kunci persatuan dan pembangunan. Tanpa transportasi yang efisien, hijau, dan digital, Indonesia akan kesulitan menjaga daya saing di tengah perubahan global. ASDP punya peluang emas untuk tidak hanya menjadi penyedia jasa penyeberangan, melainkan ikon transformasi transportasi nasional.