Peluh Seperti Darah
Yesus masih berlutut di tanah Getsemani, tubuh-Nya menggigil oleh tekanan yang semakin besar. Udara malam begitu pekat, seakan seluruh alam tahu bahwa sesuatu yang dahsyat akan terjadi.
Kegelapan menyelimuti-Nya bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam. Hati-Nya bergejolak, terbakar oleh ketakutan, kesedihan, dan beban dosa yang mulai menekan diri-Nya.
Di sekitar-Nya, murid-murid tetap terlelap. Mereka tak tahu bahwa dunia sedang berada di ambang kehancuran, dan keselamatannya bergantung pada satu keputusan di taman ini.
Tetapi Yesus tahu.
Malam ini, penderitaan bukan hanya soal salib. Penderitaan dimulai di sini---di dalam jiwa-Nya.
Peluh Seperti Darah -- Penderitaan yang Tak Tertahankan
Tiba-tiba, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terjadi.
Yesus merasakan tekanan yang begitu besar, jauh melampaui penderitaan fisik apa pun yang bisa dialami manusia.
****
Pembuluh darah kecil di bawah kulit-Nya mulai pecah karena stres yang luar biasa, dan keringat bercampur darah mulai mengalir dari dahi-Nya, jatuh ke tanah yang dingin dan kering.
Ini bukan sekadar rasa takut biasa. Ini adalah beban seluruh dosa dunia yang mulai menghantam-Nya.
Dosa Adam dan Hawa, dosa Kain yang membunuh saudaranya, dosa Daud yang berzinah dan membunuh, dosa bangsa-bangsa yang menyembah berhala, dosa setiap manusia yang pernah hidup dan akan hidup.
Semua itu jatuh ke pundak-Nya.
Setiap kebohongan, setiap pengkhianatan, setiap kekerasan, setiap penghinaan terhadap Allah---semuanya kini melekat pada-Nya seperti belenggu tak kasat mata yang mulai mencekik.
Hati-Nya menjerit.
"Bapa... Aku tak sanggup!"
Untuk pertama kalinya, Yesus---yang selama ini kuat di hadapan badai, yang tenang di hadapan setan, yang penuh kuasa di hadapan penyakit dan kematian---merasa hampir menyerah.
"Jika mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari-Ku... Jika mungkin..."
Tetapi sekali lagi, tak ada jawaban.
Hanya keheningan.
Langit yang tak bergeming.
Alam yang tetap diam.
Dan di dalam keheningan itu, bisikan halus kembali terdengar:
"Tidak ada yang akan menyalahkan-Mu jika Engkau menyerah sekarang."
"Mengapa harus Engkau yang menanggung semua ini?"
"Mereka tidak layak. Mereka akan tetap membunuh-Mu, bahkan setelah Kau selamatkan."
Suara itu merayap di benak-Nya, mengisi celah-celah ketakutan manusiawi-Nya.
Tangan-Nya mencengkeram tanah dengan erat, seakan mencoba berpegang pada sesuatu yang nyata di tengah pusaran penderitaan yang tak kasat mata.
Tetapi Yesus sudah memutuskan.
Ia tak akan menyerah.
Ia tak akan lari.
Ia akan minum cawan penderitaan ini sampai habis.
Maka dengan sisa kekuatan yang ada, Ia mengangkat wajah-Nya yang sudah berlumuran darah dan berbisik lirih:
"Jadilah kehendak-Mu."
Dan saat itulah, langit akhirnya merespons.
Malaikat Datang Menguatkan Yesus
Tiba-tiba, cahaya samar muncul di tengah gelapnya taman.
Sosok bersinar turun perlahan, dengan sayap yang berkilauan di bawah rembulan. Seorang malaikat telah datang.
Bukan untuk menghapus penderitaan-Nya.
Bukan untuk membatalkan apa yang akan terjadi.
Tetapi untuk memberi-Nya kekuatan.
Malaikat itu menatap Yesus dengan sorot mata penuh kasih.
Ia tak berbicara, tetapi kehadirannya adalah jawaban.
"Bapa tidak meninggalkan-Mu. Surga tidak diam. Kami semua melihat-Mu, dan kami menangis untuk-Mu. Tetapi ini harus terjadi. Engkau harus melaluinya... untuk mereka."
Malaikat itu menumpangkan tangan di atas Yesus.
Dan tiba-tiba, beban di dalam hati-Nya menjadi lebih ringan.
Tidak, penderitaan-Nya tidak hilang.
Tetapi kekuatan-Nya diperbarui.
Ia tidak lagi berlutut karena kelemahan, tetapi karena keteguhan hati.
Ia tidak lagi menangis karena ketakutan, tetapi karena kasih yang begitu besar kepada dunia.
Ketika malaikat itu lenyap, Yesus bangkit berdiri.
Sudah waktunya.
****
Ia kembali ke tempat para murid.
Mereka tetap tertidur.
Petrus, Yakobus, Yohanes---semuanya jatuh dalam kelemahan daging.
Yesus menghela napas panjang. Mereka tak mengerti.
Mereka tak tahu bahwa penderitaan-Nya sudah dimulai, bahkan sebelum ada paku yang menembus tangan-Nya.
"Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan."Â
Tetapi sudah terlambat.
Suara langkah kaki mulai terdengar.
Obor-obor berkedip di kegelapan, mendekat dengan cepat.
Malam ini akan menjadi malam yang paling kelam dalam sejarah.
Yesus telah menang atas pertarungan batin-Nya, tetapi pertarungan fisik baru saja dimulai.
Dan di antara nyala obor itu, seorang pria berjalan di depan.
Yudas Iskariot.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI