Mohon tunggu...
Yohanes Hosea
Yohanes Hosea Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Orang muda, penduduk Jabodetabek. Peminat dalam bidang pendidikan, sosial, komunikasi, manajemen, properti, service industry, lingkungan hidup, pertanian dan teknologi. Penggemar fotografi, wisata alam dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tip

19 Juni 2011   12:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:22 3881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seputar “Tip

Sebagai seorang yang berkarir di dunia jasa (Service industry) selama 11 tahun, saya sudah terbiasa dengan istilah “tip”. Dan pada masa lampau, pendapatan saya banyak disokong oleh income dari tip, khususnya saat saya masih bekerja di hotel dan restoran. Namun bagi bangsa kita, istilah “tip” masih belum sepenuhnya memasyarakat. Pada kenyataannya di jaman moderen ini, masyarakat kita sudah mulai mempraktekan “tip” atau tipping, walau belum di semua bidang. Berikut ini akan saya ulas secara sederhana pengertian “tip”, sejarah dan asal-usulnya, pro-kontra seputar tipping (memberi tip) dan etika tipping; tentunya disertai pengalaman-pengalaman pribadi saya.

Pengertian dan Sejarah “Tip”

Dalam kamus bahasa Inggris Merriam-Webster, istilah “tip” diartikan sebagai “a gift or a sum of money tendered for a service performed or anticipated”. Sinonim untuk kata “tip” dalam kamus ini adalah “gratuity”. Jadi, pada dasarnya tip berarti sebuah hadiah atau sejumlah uang yang diberikan atas suatu jasa yang dikerjakan. Merriam–Webster mencatat bahwa penggunaan kata “tip” pertama kali pada tahun 1755. Sedangkan menurut Prof. Michael Lind dari Cornell University (US), ditemukan bukti-bukti bahwa para ahli pertukangan di Jerman di tahun 1509, meminta “trinkgeld” atau uang untuk minum sebagai imbalan untuk pekerjaan yang mereka kerjakan. Ada yang menduga bahwa kebiasaan meminta uang untuk minum ini, yang di Inggris disebut sebagai “tipple” yang diartikan sebagai kebiasaan minum minuman keras (liquor), melahirkan istilah “tip” yang sekarang kita kenal.

Wikipedia menyebutkan salah satu sumber kata “tip” berasal dari sebuah kata dalam bahasa lokal di wilayah Jerman (Low German)“tippen”, yang berarti "to strike or hit smartly but lightly". Namun belum ada bukti kuat yang mendukung teori ini.

Sementara itu ada beberapa orang yang mendefinisikan “tip” sebagai singkatan-singkatan dari:


  • To Insure Promptness
  • To Insure Prompt service
  • To Insure Proper service
  • To Inspire Promptness
  • To Improve Performance

Jadi, bukan hanya sebagai apresiasi (penghargaan) atas jasa yang diberikan, namun juga tipping dimaksudkan sebagai pemacu agar jasa yang diberikan akan meningkat pada kunjungan atau transaksi berikutnya, sebagaimana yang diharapkan sang pelanggan.

Pengalaman saya: sebagai seorang veteran hotelier, saya sudah terbiasa melayani pelanggan saya, sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Namun, saat saya mendapatkan tip yang baik (alias cukup besar) dari pelanggan atau tamu saya, dengan senang hati saya bisa melayani sang pelanggan melebihi tuntutan pekerjaan (alias going extra mile). Sebagai contoh, dulu saat saya bertugas sebagai waiter saya tidak akan sungkan untuk mohon ke Chef untuk menyediakan extra meal atau dessert bagi salah satu pelanggan spesial saya (yang senantiasa royal dalam tipping tiap kali ia mampir ke restoran kami).

Bahkan ada kalanya restoran-restoran mahal yang padat dan sulit bagi tamunya untuk mendapatkan tempat, selalu menyediakan space tersendiri bagi para “big tippers” ini.

Sekarang kita beralih ke jaman moderen. Di masa kini, tip sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat tertentu. Umumnya di dunia jasa, tipping biasa ditemui. Berikut ini adalah beberapa profesi dan bidang pekerjaan yang umumnya mendapatkan tip dari pelanggannya:


  • Waiter/waitress
  • Bartender
  • Golf caddy
  • Doorman, Bellman dan Porter
  • Hotel receptionist dan Concierge
  • Housekeeper dan Butler
  • Taxi driver
  • Masseuse, Beautician, Spa therapist
  • Tour guide
  • Sport instructor (personal trainer)
  • Penjaga keamanan (security guard)
  • (maaf) Pekerja Seks Komersial

Mungkin Anda memiliki bidang pekerjaan lainnya yang juga Anda rasa wajar untuk mendapatkan tip? Yang jelas pejabat Negara atau publik dilarang keras menerima tip, apalagi untuk memenangkan suatu kepentingan. Saya yakin Anda paham maksudnya J

Pro-kontra seputar tipping

Sebagaimana hal-hal lainnya, tipping juga memiliki pro dan kontra. Mari kita bahas satu per satu.

Pro tipping:


  • Meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan melebihi standard yang sudah ditetapkan;
  • Pihak pemberi jasa akan senantiasa mengingat sang pemberi tip dan memberikan apresiasi yang lebih dibanding kepada pelanggan lainnya;
  • Membantu pihak pemilik usaha jasa dalam meningkatkan kesejahteraan karyawannya

Kontra tipping:


  • Menimbulkan potensi diskriminasi pemberi jasa terhadap pelanggan – pemberi jasa cenderung hanya ingin melayani pelanggan yang memberi tip besar saja;
  • Menimbulkan potensi diskriminasi pelanggan terhadap pemberi jasa – umumnya para pelanggan cenderung memberi tip kepada penyedia jasa yang pantas dan layak dalam ukuran dan nilai sosial yang ia pegang (contoh kasus di Amerika: pelanggan kulit putih lebih senang memberi tip besar kepada pelayan kulit putih juga, daripada ke pelayan non kulit putih);
  • Menimbulkan kecemburuan dan konflik di antara sesama pekerja (contoh: para telephone operator cemburu dengan para receptionist di hotel yang sama akibat masalah pemberian tip; atau sesama spa therapist saling berebut tamu pemberi tip besar)

Sejauh ini, negara-negara barat mendominasi dalam urusan tipping. Turis-turis Amerika dan Eropa umumnya lebih royal ketimbang Asia. Masih ada negara yang memandang tipping sebagai tidak pantas atau lazim (seperti di Cina dan Jepang, kecuali di hotel-hotel berbintang lima). Ada juga yang kebalikannya, dengan menerapkan fixed charge antara 5-10% dari total tagihan, yang biasa dikenal sebagai service charge. Di Indonesia sendiri, walau tidak semua penyedia jasa menerapkan kebijakan tipping, namun di kota-kota besar, sudah menjadi hal yang umum. Saat kita menumpang taksi, adalah hal yang wajar untuk memberi tip dengan membulatkan harga argo (sama seperti kebiasaan di Turki). Misalnya argo menunjukkan Rp. 15.500, umumnya kita akan membayar Rp. 20.000 tanpa mengharapkan kembalian.

Sedangkan untuk menikmati jasa personal, tipping di Indonesia belum ada ketentuan bakunya. Terkadang, memberikan Rp. 10.000 – Rp. 20.000 bagi petugas yang membawakan koper-koper kita saat kita check in atau check out di hotel berbintang, masih terhitung wajar dan normal. Restoran Indonesia menyesuaikan dengan jenis pelayanan yang diberikan. Restoran cepat saji, warung makan dan tempat makan kasual pada umumnya tidak menerapkan tipping policy. Namun restoran fine dining, seperti yang ada di bintang lima, umumnya menerapkan compulsory service charge sebesar 10%dari total tagihan. Dan jika Anda cukup bermurah hati dan tidak memiliki batasan untuk budget pengeluaran Anda, memberi tip setelah service charge juga tidaklah berlebihan. Sebagian orang melakukan hal ini, khususnya bagi mereka yang benar-benar menghargai pelayanan yang mereka terima. Beberapa restoran kasual dan cepat saji di Amerika biasanya menempatkan “tip jar” atau toples khusus untuk uang tip. Sedangkan untuk pembayaran dengan kartu kredit di Amerika, print out receipt-nya menyediakan kolom khusus untuk kita menuliskan berapa tip yang hendak kita berikan.

Turis Jepang, khususnya saat berkunjung ke negara-negara barat, cenderung tampil sebagai big tipper (mohon koreksi saya jika saya salah). Hal ini, berdasarkan pengalaman saya, dimulai dari seringnya bangsa Jepang bepergian ke luar negeri setelah usainya Perang Dunia II. Warga Jepang yang terbiasa untuk tidak tipping, mulai dikenal sebagai turis yang kikir dan pelit, padahal bangsa Jepang memandang bahwa setiap orang sudah sepantasnya untuk menjalankan tugas dan profesinya dengan sebaik mungkin, sebagai sebuah identitas diri dan panggilan hidup. Persepsi yang tidak sedap ini akhirnya lama-lama terdengar juga oleh mereka. Sebagai antisipasinya, orang Jepang mulai rajin tipping, bahkan kadang melebihi standard orang lokal. Karena bagi orang Jepang, harga diri mereka jauh lebih berharga dan penting untuk dijaga. Oh, seandainya bangsa kita juga punya driving value yang sama, pastinya pelayanan publik di negeri ini sangat baik.

Beberapa hotel, restoran dan kapal pesiar di luar negeri justru menerapkan no tipping policy. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga performa pelayanan staffnya, sehingga seluruh staff bekerja secara service oriented bukan tip oriented. Selain itu, dengan menerapkan fixed service charge, karyawan lainnya (yang tidak menerima tip secara langsung, seperti koki, dishwasher, cleaning service, dll.) juga bisa ikut menikmati penghargaan dari para pelanggan mereka secara merata dan adil. Hotel-hotel di Indonesia umumnya menerapkan sistem ini. Ada yang point based berdasarkan peringkat dan bidang pekerjaan dan ada juga yang sama rata. Sering kali, di antara sesama hotelier Indonesia, untuk mengetahui tingkat keberhasilan sebuah hotel, salah satunya dengan memperhatikan jumlah nilai service charge yang diterima karyawannya.

Tipping etiquette

Berikut ini adalah beberapa panduan dan advis sederhana dalam memberi tip:

Perhatikan budaya dan kebiasaan lokal. Jika kita berada di daerah atau negara yang tidak terbiasa dengan tip, sebaiknya tidak perlu daripada salah kaprah. Demikian pula sebaliknya, jangan pelit untuk memberi tip di tempat yang memandang tipping sebagai hal yang lumrah, agar jangan kita dibilang kikir atau bahkan tidak dilayani dengan baik. Jumlah tip disesuaikan dengan kebiasaan lokal. Over tipping akan mengganggu tatanan ekonomi lokal (walau sah-sah saja kalau hanya dilakukan sesekali). Under tipping justru akan membuat kita tidak di-welcome pada kunjungan atau transaksi berikutnya. Dalam pengalaman saya bekerja di industri jasa selama 11 tahun, saya telah bertemu dengan ribuan wajah tamu, pelanggan dan customer. Yang paling saya ingat hanya dua jenis saja: yang paling baik (dermawan atau ramah) dan yang paling jahat (kikir atau rese). Ayo, cek diri kita masing-masing, jenis customer yang manakah kita ini? J

Bila kita hendak memberi tip, selalu ucapkan rasa terima kasih kita dengan tulus (tidak dibuat-buat), diiringi senyum dan kontak mata yang ramah. Tanpa kita sadari, bukan hanya tip saja yang sudah kita berikan, namun juga hospitality. Bukankah kita bangsa yang ramah dan sopan santun?

Akhir kata, harapan saya pribadi, bukan hanya bijak dalam memberi dan menerima tip, namun juga tahu dan mengerti apa artinya menghargai dan melayani.

Bagi kita yang di posisi melayani: layanilah pelanggan, customer, tamu atau orang yang harus kita hadapi dengan sepenuh hati dan tulus, seakan-akan kita melayani Tuhan kita sendiri. Bukankah pelayanan kita adalah ibadah kita juga? Dan saya juga percaya, sesekali waktu Tuhan akan mengirim malaikatNya untuk menguji kita. Saya sendiri mencoba untuk selalu ramah kepada setiap tamu yang datang ke counter saya, entah yang hanya berpakaian lusuh dan kumal atau yang necis dan mentereng. Kita semua sama, tidak ada yang beda di mata Tuhan. Service is nothing but love in uniforms.

Bagi kita yang di posisi dilayani: marilah kita belajar untuk menghargai pelayanan yang kita terima. Sekecil atau sesederhana apapun. Jika kita tak sanggup untuk memberi tip, minimal katakanlah terima kasih dengan tulus. Today, give a stranger one of your smiles.It might be the only sunshine he sees all day.

Salam,

Yohanes

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun