Mohon tunggu...
Yohannes Krishna Fajar Nugroho
Yohannes Krishna Fajar Nugroho Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Video Editor dan Junior Public Relations

It's ok to be different.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan=Tuntutan Budaya?

3 Januari 2023   08:00 Diperbarui: 6 Januari 2023   09:13 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Bojong Gede, 2 Januari 2023

Kemarin orangtua saya memberi satu undangan pernikahan dari rekan gereja di Depok. Usianya jauh dibawah saya, karena ketika saya kuliah, dia baru kelas 3 SMP. Ada perbincangan hangat agak sedikit panas diantara kami. Adik saya memberi komentar: “Kenapa sih orang pada menikah?”

Kedua orangtua saya menjawab bahwa pernikahan adalah panggilan yang ada di Gereja. Sama seperti imamat. Adik saya berpendapat bahwa banyak teman-teman seangkatannya menikah karena ikut-ikutan. Perbincangan hangat yang agak sedikit panas itu sedikit semakin memanas. 

Saya pernah ngobrol dengan seorang teman saya yang saat ini sudah menikah dan punya anak. Dia berseloroh: “Bapaknya bokin udah nanyain gw kapan mau ngelamar. Mumpung bokapnya masih kerja juga jadi masih ada yang biayain” dia bilang. 

Ada lagi teman saya yang memang sudah memutuskan untuk hidup berkeluarga dengan pacarnya. Tapi ujung ujungnya dia berkata: “Ya nyokap nya juga sudah sering nanyain sih.” Saya bertanya ke 10 teman saya yang sudah menikah, dan saya mendapati bahwa hanya satu pasangan yang menikah karena mereka ingin menikah, tanpa ada tuntutan dari orangtua, oom, tante, kakek, nenek,  dan orang2 dari keluarga besar yang kadang kepo. 

Bagi saya hal itu bukan menjadi satu masalah yang berarti, karena mereka menjalani nya dengan penuh niat dan tanpa ada keragu-raguan. Yang memuakkan bagi saya, adalah ketika mereka yang pada awalnya menggebu-gebu untuk menikah lalu berumah tangga, dan memilih pasangannya sendiri dan di kemudian hari mengeluh akan kondisi pasangannya, curhat kesana kemari, cari pelampiasan, dan akhirnya berpisah. 

Sebenarnya saya juga ingin mengkritisi konsep Gereja yang mendefinisikan pernikahan adalah sebuah panggilan hidup, di sisi lain Gereja juga melegalkan pembatalan sakramen perkawinan. Sebagai umat awam saya gak bisa menemukan jawaban hal ini. Barangkali jika ada pejabat Gereja yang bisa menjelaskan, bisa tolong mencerahkan saya. 

Kembali ke kebudayaan di Indonesia, apalagi di Jawa yang memiliki idiom Selawe dalam bahasa Jawa artinya 25, dan dicocok-cocokin bahwa Selawe adalah Seneng Senengnya Lanang dan Wedok atau masa bahagia Laki laki dan Perempuan. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa usia pernikahan yang ideal adalah di usia 25 tahun. Bahkan ada salah satu anggota keluarga saya yang menikah setelah kuliah. Oke, tidak masalah bagi saya karena mereka hidup bukan di Jakarta. Meskipun teman saya di Jakarta juga banyak yang sudah punya anak balita. 

Hal ini juga menggelitik sanubari saya. Maaf ya teman teman saya harus tertawa dalam hati. Banyak dari teman teman saya cerita bahwa setelah menikah, mereka sering mendapat pertanyaaan yang seharusnya hanya menjadi urusan pasangan itu “Kapan punya anak?”. Ada yang langsung buru buru punya anak, dan ada juga yang masih ingin menikmati masa masa berdua. 

Tidak apa apa bagi saya, karena itu pilihan mereka. Tapi cerita mereka ditanya 'kapan punya anak?' hal itu yang menggelitik saya untuk menulis keluhan ini. Apalagi, setelah punya anak ada pertanyaaan selanjutnya ‘Kapan anakmu punya adik?’ Bukankah keputusan punya anak atau tidak itu adalah hak mutlak dari setiap pasangan? Kenapa masih ada orang yang kepo soal kehidupan rumah tangga orang lain? Saya tidak bilang bahwa semua orang Indonesia seperti itu, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada bahkan banyak orang-orang yang seperti itu. 

Jujur, hal ini yang membuat saya malu punya darah Jawa. Konsep konsep lawas seperti ini membuat Indonesia masih menyandang status sebagai negara berkembang. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat pernikahan, dan natalitas di Indonesia. Sejak masa remaja, secara tidak langsung ditanamkan bahwa ukuran kesuksesan seseorang adalah menikah, dan punya keturunan.  

Badan Pusat Statistik (BPS) mendata sebanyak 1.837.185 pasangan menikah selama tahun 2016 di seluruh Indonesia. Dari data tersebut, sebanyak 54.696 pasangan adalah warga provinsi DKI Jakarta dan sebanyak 386.242 pasangan adalah warga provinsi Jawa Barat. Sementara itu di lain sisi, BPS juga mendata di tahun yang sama sebanyak 365.633 kasus perceraian terjadi di seluruh Indonesia; 11.321 kasus perceraian di provinsi DKI Jakarta, dan sebanyak 75.001 kasus di Jawa Barat.

Saya pakai data tahun 2016 karena saya belum mendapat data tahun 2021, tapi saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa tingkat perceraian di Indonesia tidaklah sedikit. Seperti contoh dari 54.696 pasangan yang menikah ada 11.321 pasangan yang bercerai di DKI Jakarta. 

Secara pribadi, saya menilai bahwa orang-orang yang menikah, lalu bercerai itu adalah mereka yang tidak memahami esensi dari perkawinan yang ideal. Berbeda cerita dengan mereka yang mengalami KDRT, dan ditinggal pergi oleh suami/istri. 

Mereka menikah hanya karena tuntutan kebudayaan yang menjadi bayang bayang bagi generasi muda bangsa ini.  Memang tuntutan itu tidak terlihat jelas seperti peraturan formal di perkantoran atau transportasi publik, tapi perlu disadari bahwa Indonesia masih sangat menjunjung tinggi kebudayaan dan tradisi leluhur yang sudah bercokol dalam sendi sendi kehidupan. 

Ini pendapat saya lho ya, boleh disanggah karena riset saya tidak sedalam yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Indonesia sudah memiliki jumlah penduduk sebanyak lebih dari 270 juta jiwa. Saya melihat hal ini adalah karena hidup berkeluarga dan memiliki keturunan sudah menjadi tuntutan kebudayaan di Indonesia. Saya tidak mengatakan bahwa pendapat saya ini benar, dan saya juga tidak akan menganggap bahwa konsep-konsep berkeluarga yang ada di negara ini juga benar. 

Jadi karena sama sama ada tidak benar nya, harap saling menerima saja. Toh juga pendapat saya ini tidak mengganggu stabilitas nasional, dan tidak mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya sangat menerima komentar, kritik, saran dan masukan bapak/ibu sekalian. 

yfn_26

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun