Mohon tunggu...
Yetti Wira Citerawati SY
Yetti Wira Citerawati SY Mohon Tunggu... PLP Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Seorang ASN dengan jabatan PLP di Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palangka Raya sekaligus Kepala Redaksi penerbitan Polkesraya Press

Selanjutnya

Tutup

Nature

Pagar Virtual, Perlindungan Nyata

25 September 2025   13:51 Diperbarui: 25 September 2025   13:51 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di desa Pak Budi, malam tiba tanpa suara. Getaran samar yang terasa bukan dari gempa, melainkan dari langkah puluhan kaki raksasa. Di ujung lahannya, bayangan kelabu bergerak. Kawanan gajah sumatera kembali datang. Bagi banyak orang, gajah adalah simbol keagungan alam. Bagi Pak Budi dan ribuan petani di perbatasan hutan, kehadiran mereka adalah pertanda kerugian, ketakutan, dan malam-malam tanpa tidur. Ini adalah dilema nyata di garis depan konservasi Indonesia. Kita ingin melindungi satwa warisan dunia sekaligus melindungi kehidupan dan martabat manusia.

Konflik antara manusia dan gajah bukanlah cerita baru. Kita tidak lagi bisa menunda; kita menghadapi masalah yang mengancam kehidupan dan warisan alam sekaligus. Data menunjukkan eskalasi yang jelas seiring menyusutnya luas hutan, sementara solusi yang ada terbukti tidak lagi memadai. Kini, solusinya tidak lagi terbuat dari beton atau besi, melainkan dari sinyal data.

Akar Masalah di Ladang dan Hutan

Anda perlu memahami mengapa konflik ini terjadi. Data dari Betahita (2021) melukiskan gambaran suram: dengan perkiraan populasi tersisa antara 924 hingga 1.359 individu, gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) kehilangan rumahnya dengan cepat. Hutan tempat mereka mencari makan selama ribuan tahun telah berubah menjadi perkebunan, pemukiman, dan infrastruktur. Setiap hektar hutan yang hilang adalah satu langkah lebih dekat gajah menuju ladang warga.

Kehilangan ini bukan hanya tragedi bagi gajah, tetapi juga bagi ekosistem itu sendiri. Gajah adalah "spesies payung" sekaligus "insinyur ekosistem". Jejak mereka membuka jalan bagi satwa yang lebih kecil. Mereka menyebarkan biji-bijian melalui kotoran mereka, membantu regenerasi hutan. Saat mereka menghilang, keseimbangan ekologis yang rapuh ikut terancam. Namun, tekanan ekonomi sering kali mengesampingkan logika ekologis ini. Ekspansi pertanian skala besar, yang didorong oleh permintaan global akan komoditas seperti minyak sawit dan pulp, menjadi motor utama deforestasi. Hutan diratakan, dan koridor alami yang menghubungkan kantong-kantong habitat gajah terputus.

Setiap jengkal hutan yang hilang adalah garansi bahwa konflik akan semakin parah. Data ini bukan sekadar statistik; ini adalah lonceng peringatan yang kita abaikan (FWI, 2024). Laporan dari Antara News (2019) mengonfirmasi bahwa di Provinsi Riau saja, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) mencatat puluhan insiden setiap tahun. Insiden ini menyebabkan kerugian panen yang signifikan dan trauma mendalam bagi masyarakat. Di banyak komunitas, anak-anak takut pergi ke sekolah dan petani enggan pergi ke ladang saat fajar atau senja. Angka ini adalah bukti bahwa masalahnya bukan pada gajah, melainkan pada tata kelola ruang hidup yang kita ciptakan.

Ilusi Perlindungan dari Pagar Konvensional

Berbagai upaya mitigasi konvensional telah dilakukan, tetapi sering kali gagal memberikan hasil jangka panjang. Metode seperti parit, pagar listrik, hingga translokasi terbukti tidak efektif. Ambil contoh pagar beton. Selain biaya pembangunannya yang fantastis, pagar ini adalah monumen rapuh di hadapan kekuatan gajah. Dengan kecerdasan sosialnya, kawanan gajah mampu bekerja sama menumbangkan pohon untuk merusak pagar atau menggunakan gading mereka untuk membongkar strukturnya. Pagar menjadi solusi sementara yang mahal.

Translokasi, atau memindahkan gajah "pembuat masalah", juga merupakan solusi yang penuh ilusi. Proses penangkapan dan pemindahan menyebabkan stres ekstrem pada hewan. Banyak gajah yang tidak selamat atau kesulitan beradaptasi di habitat baru. Lebih penting lagi, gajah memiliki ingatan spasial yang kuat dan "naluri pulang". Tidak jarang, gajah yang dipindahkan akan mencoba berjalan ratusan kilometer untuk kembali ke wilayah asalnya, sering kali menciptakan konflik baru di sepanjang perjalanan. Metode lama ini bersifat reaktif. Kita membangun tembok sebagai respons terhadap masalah yang sudah ada, sebuah strategi yang terbukti kalah dan sering kali kejam.

Membangun Pagar dari Sinyal Data

Sekarang, bayangkan sebuah pagar yang tidak terlihat. Sebuah pagar yang dapat Anda sesuaikan setiap saat melalui laptop dan mampu memberi tahu Anda kapan gajah mendekat, jauh sebelum Anda mendengarnya. Inilah konsep "pagar virtual" atau geofence.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun