Mohon tunggu...
Yessy Septia Widiyastuti
Yessy Septia Widiyastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lucy Siegle: Someone, Somewhere, is Paying

20 April 2025   21:59 Diperbarui: 20 April 2025   21:59 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fast fashion identik dengan produk fashion yang trendy tetapi terjangkau. Fast fashion merujuk pada model bisnis fashion yang memproduksi produk fashion dengan volume yang besar dalam waktu singkat untuk mengikuti tren yang berlangsung. Fokus utama dari model bisnis ini adalah kenyamanan, keterjangkauan (affordability, dalam hal harga), dan aksesibilitas bagi konsumen. Fast fashion memungkinkan konsumen untuk memperoleh pakaian yang sedang nge-tren dengan harga yang sangat murah.

Sebelum tahun 1800an, proses produksi pakaian masih sepenuhnya bergantung pada tenaga manusia. Pakaian diproduksi secara manual, biasanya menggunakan alat tenun sederhana dan teknik menjahit tangan. Proses produksi memakan lebih banyak waktu serta membutuhkan tenaga kerja yang terampil sehingga harga pakaian menjadi lebih mahal. Menambah koleksi pakaian adalah proses yang lambat dalam artian tidak sering dilakukan karena proses produksi yang tidak mudah dan murah.

Transformasi mulai terjadi pada masa Revolusi Industri. Penemuan mesin jahit pada tahun 1830 menjadi titik balik dalam industri fashion. Mesin memungkinkan proses produksi pakaian menjadi lebih mudah dan cepat. Pakaian mulai diproduksi secara masif dan perlahan menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat umum. Industri fashion mulai berkembang dengan pesat.

Sekitar tahun 1960an dan 1970an, mulai muncul tren pakaian yang silih berganti. Fashion mulai dipandang sebagai bentuk dari ekspresi diri. Gaya berpakaian menjadi cerminan dari identitas seseorang. Seiring meningkatnya kesadaran akan fashion, permintaan terhadap pakaian yang stylish tetapi terjangkau pun melonjak. Tahun ini adalah tahun-tahun dimana konsep fast fashion mulai berkembang. Perusahaan fashion mulai mengalihkan produksinya ke negara negara dengan upah tenaga kerja yang murah dan regulasi yang longgar. Dengan begitu, mereka bisa menjaga harga barang produksi mereka tetap rendah. Model bisnis yang berfokus pada efisiensi ini perlahan menjelma menjadi sistem yang eksploitatif.

Istilah sendiri fast fashion pertama kali muncul pada tahun 1990. Istilah fast fashion pertama kali digunakan dalam artikel yang dipublisakisan oleh New York Times. Artikel ini membahas mengenai ekspansi sebuah fashion retailer asal Spanyol, Zara. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa Zara mampu merancang, memproduksi, dan menjual desain pakaian sesuai tren hanya dalam waktu 15 hari. Kemampuan inilah yang menjadi fondasi utama dari fast fashion.

Kebangkitan Industri Fast Fashion

Industri fast fashion mengalami perkembangan yang luar biasa. Industri fast fashion berkembang sangat pesat di tahun 2000an. Dari tahun 2000 hingga 2014, produksi pakaian di dunia meningkat dua kali lipat. Tidak hanya itu, jumlah pembelian pakaian per orang pun meningkat sekitar 60%.

Perubahan tren fashion pun menjadi semakin cepat dan dinamis. Jika sebelumnya industri fashion mengikuti siklus musiman, seperti koleksi fall/summer dan autumn/winter, maka fast fashion menghapus batasan tersebut. Industri fast fashion menerapkan konsep 52 microseasons. Konsep ini merujuk pada strategi merilis koleksi baru setiap minggu dalam setahun. Brand-brand fast fashion merilis koleksi baru hampir setiap minggu, bahkan dalam hitungan hari, guna menyesuaikan dengan tren yang terus berubah.

Merek fast fashion seperti Zara, H&M, dan Uniqlo semakin mendominasi. Merek-merel fast fashion ini berhasil mengekspansi pasar global. Zara sendiri memiliki lebih dari 2000 store cabang di dunia. Begitu juga dengan Uniqlo, merek fast fashion asal Jepang ini memiliki 2000 lebih store cabang yang tersebar di 25 pasar di seluruh dunia. Sementara itu, H&M menempati posisi teratas. Tercatat pada awal tahun 2024, cabang store H&M mencapai lebih dari 3000 cabang yang tersebar di berbagai belahan dunia.

Kemudian datanglah revolusi digital. Media sosial dan munculnya influencer semakin mempercepat siklus fashion. Konsumen kini dapat dengan mudah melihat tren fashion melalui influencer, selebritas, dan fashion blogger di berbagai platform digital seperti Instagram, TikTok, dan Pinterest. Perkembangan teknologi ini dibarengi dengan perkembangan situs belanja online atau platform e-commerce. Hanya dengan beberapa klik, siapa pun bisa membeli pakaian baru tanpa perlu keluar rumah, bahkan dengan harga yang sangat murah. Pada saat seperti ini, retailer fashion online seperti Shein muncul sebagai kekuatan baru. Shein kini membanjiri pasar global dengan ribuan produk baru setiap harinya.

Di Balik Industri Fast Fashion

Industri fast fashion telah menghadirkan banyak kemudahan bagi konsumen. Pakaian dengan desain yang stylish dan up to date kini dapat dibeli dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan hanya dengan beberapa klik melalui platform belanja online. Fast fashion memungkinkan siapa pun untuk memperbarui gaya berpakaian mereka tanpa harus merogoh kocek yang dalam. Namun, di balik semua kemudahan dan kenyamanan ini, terdapat sisi gelap dari industri fast fashion.

Industri fast fashion menyembunyikan realitas pahit dari sistem produksi yang eksploitatif. Banyak perusahaan fast fashion yang mengandalkan tenaga kerja murah dari negara-negara berkembang. Perusahaan fast fashion dengan sengaja melakukan produksi barang mereka di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, dan Tiongkok. Hal tersebut ditujukan untuk menekan biaya produksi sehingga barang mereka masih bisa dijual dengan harga yang terjangkau. 

Efisiensi biaya produksi dicapai dengan mengorbankan kesejahteraan buruh di negara berkembang. Para pekerja di balik layar produksi fast fashion sering kali dihadapkan pada kondisi kerja yang tidak layak: upah rendah, jam kerja yang panjang, hingga lingkungan kerja yang tidak aman. Kenyamanan konsumen dibayar mahal dengan keringat dan penderitaan buruh.

Laporan investigasi telah mengungkap kenyataan yang mengejutkan di dalam pabrik-pabrik yang memasok perusahaan fast fashion. Pada tahun 2021, sebuah dokumenter Channel 4 mengungkap bahwa pekerja Shein di Guangzhou, Tiongkok, bekerja selama 18 jam dengan hanya satu hari libur per bulan. Beberapa pekerja didenda karena kesalahan dan ada juga yang bekerja tanpa kontrak atau perlindungan tenaga kerja yang tepat. 

Pada tahun 2011, brand global Zara juga terseret skandal setelah pihak berwenang Brasil menemukan bahwa pabrik mitra mereka memperkerjakan buruh migran dalam kondisi seperti perbudakan. Para buruh yang sebagian besar berasal dari Bolivia dan Peru, dipekerjakan hingga larut malam, tinggal di tempat kerja yang kumuh, dan menerima upah jauh di bawah standar. Kondisi serupa terjadi di seluruh belahan dunia, di negara di mana kemiskinan dan undang-undang ketenagakerjaan yang lemah menciptakan lingkungan yang sempurna untuk eksploitasi.

Eksploitasi dalam industri fast fashion merupakan sesuatu yang sistemik. Eksploitasi merupakan hasil yang tak terelakkan dari model ekonomi kapitalis yang sangat mengutamakan laba. Akumulasi laba menjadi tujuan utama dan segala cara akan ditempuh untuk mencapainya, termasuk dengan memangkas biaya produksi semaksimal mungkin. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan menekan upah serta hak-hak pekerja. Kapitalisme pada dasarnya bergantung pada eksploitasi kelas pekerja untuk memaksimalkan keuntungan. 

Eksploitasi ini sebagai bagian dari proses membentuk surplus value. Dalam skema produksi fast fashion, para buruh dijadikan komoditas. Tenaga mereka diekstraksi semaksimal mungkin demi meningkatkan akumulasi laba perusahaan. Nilai yang dihasilkan oleh buruh dalam produksi jauh lebih besar daripada upah yang mereka terima. Sisa nilai tersebut dipusatkan di tangan pemegang saham dan eksekutif. Buruh menghasilkan keuntungan, tetapi tidak menikmatinya. Keuntungan sebagian besar dinikmati oleh pemilik perusahaan. Inilah sebabnya mengapa buruh di pabrik garmen sering kali hanya memperoleh sedikit upah terlepas dari berapa harga jual akhir dari produk.

Eksploitasi dalam industri fast fashion mencerminkan ketimpangan antara dua kelas seperti yang dijelaskan dalam Marxsisme. Sistem kapitalisme akan selalu menciptakan ketimpangan antara pemilik modal (bourgeoisie) dan kelas pekerja (proletariat). Pemilik perusahaan dan buruh bagaikan hidup di dua dunia yang berbeda. Pemilik perusahaan menikmati keuntungan, sementara para buruh terjebak dalam siklus kerja dengan upah rendah dan kondisi yang tidak layak.

Kesimpulan

Industri fast fashion telah merevolusi cara kita berpakaian. Fast fashion memberikan kemudahan, aksesibilitas, dan tren yang terus berganti. Namun, di balik segala kenyamanan tersebut, tersembunyi kenyataan pahit tentang eksploitasi buruh, ketimpangan ekonomi, dan dampak dari sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Lucy Siegle, “Fast fashion is not free. Someone, somewhere, is paying the price”, ada seseorang yang harus menanggung beban di balik harga murah dari produk fast fashion. Sudah saatnya kita sebagai konsumen lebih sadar dan kritis terhadap pilihan konsumsi kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun