Industri fast fashion telah menghadirkan banyak kemudahan bagi konsumen. Pakaian dengan desain yang stylish dan up to date kini dapat dibeli dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan hanya dengan beberapa klik melalui platform belanja online. Fast fashion memungkinkan siapa pun untuk memperbarui gaya berpakaian mereka tanpa harus merogoh kocek yang dalam. Namun, di balik semua kemudahan dan kenyamanan ini, terdapat sisi gelap dari industri fast fashion.
Industri fast fashion menyembunyikan realitas pahit dari sistem produksi yang eksploitatif. Banyak perusahaan fast fashion yang mengandalkan tenaga kerja murah dari negara-negara berkembang. Perusahaan fast fashion dengan sengaja melakukan produksi barang mereka di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, India, dan Tiongkok. Hal tersebut ditujukan untuk menekan biaya produksi sehingga barang mereka masih bisa dijual dengan harga yang terjangkau.
Efisiensi biaya produksi dicapai dengan mengorbankan kesejahteraan buruh di negara berkembang. Para pekerja di balik layar produksi fast fashion sering kali dihadapkan pada kondisi kerja yang tidak layak: upah rendah, jam kerja yang panjang, hingga lingkungan kerja yang tidak aman. Kenyamanan konsumen dibayar mahal dengan keringat dan penderitaan buruh.
Laporan investigasi telah mengungkap kenyataan yang mengejutkan di dalam pabrik-pabrik yang memasok perusahaan fast fashion. Pada tahun 2021, sebuah dokumenter Channel 4 mengungkap bahwa pekerja Shein di Guangzhou, Tiongkok, bekerja selama 18 jam dengan hanya satu hari libur per bulan. Beberapa pekerja didenda karena kesalahan dan ada juga yang bekerja tanpa kontrak atau perlindungan tenaga kerja yang tepat.
Pada tahun 2011, brand global Zara juga terseret skandal setelah pihak berwenang Brasil menemukan bahwa pabrik mitra mereka memperkerjakan buruh migran dalam kondisi seperti perbudakan. Para buruh yang sebagian besar berasal dari Bolivia dan Peru, dipekerjakan hingga larut malam, tinggal di tempat kerja yang kumuh, dan menerima upah jauh di bawah standar. Kondisi serupa terjadi di seluruh belahan dunia, di negara di mana kemiskinan dan undang-undang ketenagakerjaan yang lemah menciptakan lingkungan yang sempurna untuk eksploitasi.
Eksploitasi dalam industri fast fashion merupakan sesuatu yang sistemik. Eksploitasi merupakan hasil yang tak terelakkan dari model ekonomi kapitalis yang sangat mengutamakan laba. Akumulasi laba menjadi tujuan utama dan segala cara akan ditempuh untuk mencapainya, termasuk dengan memangkas biaya produksi semaksimal mungkin. Salah satu cara yang paling umum adalah dengan menekan upah serta hak-hak pekerja. Kapitalisme pada dasarnya bergantung pada eksploitasi kelas pekerja untuk memaksimalkan keuntungan.
Eksploitasi ini sebagai bagian dari proses membentuk surplus value. Dalam skema produksi fast fashion, para buruh dijadikan komoditas. Tenaga mereka diekstraksi semaksimal mungkin demi meningkatkan akumulasi laba perusahaan. Nilai yang dihasilkan oleh buruh dalam produksi jauh lebih besar daripada upah yang mereka terima. Sisa nilai tersebut dipusatkan di tangan pemegang saham dan eksekutif. Buruh menghasilkan keuntungan, tetapi tidak menikmatinya. Keuntungan sebagian besar dinikmati oleh pemilik perusahaan. Inilah sebabnya mengapa buruh di pabrik garmen sering kali hanya memperoleh sedikit upah terlepas dari berapa harga jual akhir dari produk.
Eksploitasi dalam industri fast fashion mencerminkan ketimpangan antara dua kelas seperti yang dijelaskan dalam Marxsisme. Sistem kapitalisme akan selalu menciptakan ketimpangan antara pemilik modal (bourgeoisie) dan kelas pekerja (proletariat). Pemilik perusahaan dan buruh bagaikan hidup di dua dunia yang berbeda. Pemilik perusahaan menikmati keuntungan, sementara para buruh terjebak dalam siklus kerja dengan upah rendah dan kondisi yang tidak layak.
Kesimpulan
Industri fast fashion telah merevolusi cara kita berpakaian. Fast fashion memberikan kemudahan, aksesibilitas, dan tren yang terus berganti. Namun, di balik segala kenyamanan tersebut, tersembunyi kenyataan pahit tentang eksploitasi buruh, ketimpangan ekonomi, dan dampak dari sistem kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Lucy Siegle, “Fast fashion is not free. Someone, somewhere, is paying the price”, ada seseorang yang harus menanggung beban di balik harga murah dari produk fast fashion. Sudah saatnya kita sebagai konsumen lebih sadar dan kritis terhadap pilihan konsumsi kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI