"Sial!" rutukku dalam hati.
Demi nilai, kegiatan ritual mandi di sungai pun aku jalani. Nira memerintahkanku untuk menyelam ke dasar sungai, lalu berteriak sekencang-kencangnya. Meski aku tak sepaham dengan caranya, hasrat untuk memperolah angka bagus pada ujian mengaji jauh lebih menggebu, aku pasrah menjalani teknik yang diberikan Nira. Meski aku sering keminum air, Nira terus saja memaksaku untuk melakukan itu. Â Hasilnya selama hampir dua Minggu aku memang mengalami kemajuan. sudah tidak pakai gayung lagi ketika mandi di sungai. Iramaku mengalami perkembangan. Bacaan ta'wuz dan basmalahku mengundang decak kagum ibuku. Alhamdulillah. Â
 Hingga tibalah waktu yang kutunggu. Ujian dimulai. Satu persatu nama peserta dipanggil ke depan dalam menjankan tes. Ada yang lancar, ada juga yang tersendat. Giliranku pun tiba. Namaku pun dipanggil. Dengan langkah mantap aku berjalan ke depan. Pertama aku mempraktekan cara shalat dan bacaan shalat, menyebutkan rukun iman dan sampailah terakhir aku membuka Al-qur'an. Rasa percaya diriku mulai meningkat. Aku melihat Bu Dar. Aku ingin menunjukan kebisaanku padanya. Bacaa taa'wus dan basmallahku membuatnya tercengah. Tapi tahukah engkau teman, ternyata aku diminta membaca surat Albaqarah, padahal sewaktu belajar dengan Nira aku membaca surat al-isra. Iramaku kacau, kulihat dengan ujung mataku Bu Dar dan pengawas lain agak menahan geli medengarku mengaji.
"Yessy, kenapa suaramu berubah seperti kaset kusut?"
"Hahaha...!" Suara kelas terdengar riuh. Aku tetap fokus menyelesaikan bacaanku. Kemudian dengan pe-denya aku mengakhir bacaanku dengan ucapan, "shodaqallahul'adziim"
"Nah itu mantap lagi iramanya," komentar kawanku membuat aku tersipu malu .Â