"Tenang, nanti aku ajarkan bagaimana tekniknya supaya napasmu panjang dan irama mengajimu bagus!" ujarnya enteng sembari menepuk dada.
"Serius?"
"Ya iyalah," ucapnya sambil memutar-mutar biji matanya.
Harusnya aku tertawa melihat Nira seperti itu. Namun, rasa khawatirku menghadapi ujian dua Minggu lagi, membuatku jadi tak menikmati tingkahnya.
Guru agamaku senyam senyum melihat kegundahanku.Â
Kejadian itu telah lama berlalu. Sudah puluhan tahun. Tepatnya ketika aku masih berseragam merah putih. Namun hingga kini kenangan itu masih melekat dalam benakku.
Bagaimana tidak, sejak Bu Dar memberikan penjelasan atas apa yang akan diujikan, aku mulai berlatih, terutama bagaimana mengaji dengan suara yang merdu.
Aku merasa beruntung Nira mau meluangkan waktunya untuk mengajarkanku irama dalam mengaji.
Hampir setiap malam ia tidur di rumahku untuk belajar bersama dalam rangka menghadapi ujian akhir sekolah. Pertemananku dengan anak penyandang juara MTQ Â sekecamatan itu benar-benar seperti kerbau dengan burung jalak.
"Pagi-pagi kita harus mandi ke sungai," terang Nira padaku sambil mengunyah es.
"Eh buat apa ke sungai pagi-pagi?" Buru-buru aku menyanggah ajakan Nira. Aku tak bisa membayangkan bagaiman ribetnya  ganti baju sehabis mandi di sungai. Tak jarang, setelah mandi di sungai aku pulang ke rumah dengan keadaan basah-basah. Ya Allah betapa ribetnya.  Selain itu, meski rumahku dekat dengan sungai aku tak pandai berenang. Sebagai teman, harusnya ia paham. Aku menatapnya.