Mohon tunggu...
Yessi Chamelliya
Yessi Chamelliya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebahagiaan dan Keharmonisan Sosial dalam Kebudayaan Jawa

6 Desember 2021   07:30 Diperbarui: 6 Desember 2021   07:40 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Terciptanya suatu keharmonisan sosial dalam masyarakat adat harus didasari dalam suatu unsur-unsur tertentu yang menjadikan adanya satu kesatuan dalam kehidupan bersama sehingga munculnya sebuah keharmonisan di dalam suatu budaya yang ada. Maka dari itu nilai-nilai fundamental yang terdapat di dalamnya sangat memiliki peran penting, seperti misalnya adalah nilai-nilai adat budaya yang masih langgeng dilestarikan di tengah zaman yang sudah semakin modern, seperti misalnya salah satu kebudayaan Jawa yang masih langgeng sampai saat ini, yaitu siraman kepada kedua mempelai calon pasangan suami istri yang akan melangsungkan pernikahan. Hal-hal tersebut tentunya dapat dijadikan sebagai suatu pedoman untuk menjaga sekelompok masyarakat, sehingga akan meminimalisir terjadinya konflik, karena adanya keharmonisan, kebiasaan, dan/atau kepercayaan yang sama (Ariska et al., 2020). Dalam konteks masyarakat Jawa, harmoni sosial yang dianut oleh masyarakat Jawa cenderung mengacu kepada prinsip kerukunan, yang dimaksud dengan rukun tersebut adalah berada dalam keadaan yang selaras, dan tentram tanpa adanya perselisihan, masyarakat tersebut hadir untuk saling membantu satu sama lain (Suseno, 2001). Dalam pandangan budaya Jawa, bukanlah mengenai terciptanya suatu keharmonisan sosial, namun melainkan lebih kepada penekanan untuk tidak mengganggu keharmonisan yang sudah ada, dalam perspektif budaya Jawa, keharmonisan sosial merupakan suatu keadaan yang secara fundamental akan terus hidup di dalam lingkungan masyarakat tanpa adanya gangguan, hal ini dipercaya merupakan sebuah prinsip untuk mencegah segala macam bentuk konflik dan perbedaan pendapat yang dapat memecah belah masyarakat jawa. Sehingga, masyarakat dituntut untuk terus bersifat rukun antar sesama secara terus menerus untuk menyingkirkan potensi-potensi yang dapat menimbulkan perselisihan (Suseno, 2001).
Dalam hal ini, keharmonisan sosial dapat terjadi dengan terlebih dahulu memulai keharmonisan keluarga, secara keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang merupakan bagian dari keluarga inti. Berdasarkan Tempo.co (2018), adanya keharmonisan keluarga dapat memicu peningkatan kebahagiaan bagi masyarakat dalam konteks yang lebih  luas. Dalam artikel tersebut, mengacu pada data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik atau BPS, menunjukkan bahwa pada tahun 2017, kebahagiaan keluarga di Indonesia meningkat sekitar 70,69 persen, yang mana pada survey yang dilakukan sebelumnya yaitu pada tahun 2014 yang mengatakan bahwa kebahagiaan keluarga di Indonesia berada pada angka 68,28 persen dalam skala 0 hingga 100.
Dalam konteks yang lebih spesifik pada konteks masyarakat Jawa, keharmonisan sosial tersebut secara jelas dikatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki kewajiban untuk dapat menjaga kebaikan, keindahan, serta kelestarian dunia. Oleh karena itu, kewajiban tersebut harus diamalkan dan dimulai dari diri sendiri dengan menjaga kejernihan pikiran yang menyangkut juga perilaku yang baik dan tidak ofensif kepada sesama, kebaikan dalam bertutur kata. Bahkan, masyarakat Jawa juga diwajibkan untuk dapat melakukan kebaikan yang bersifat transendental, yaitu kebaikan dengan alam semesta, baik kebaikan terhadap bumi maupun kepada ‘langit’, yang merujuk pada kebaikan terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta (Prayitno, 2017). Dengan adanya penjelasan tersebut, maka dalam konteks kebudayaan Jawa, keharmonisan tersebut memang secara jelas merujuk pada keharmonisan terhadap sesama manusia, dan tidak mengacu pada keharmonisan terhadap sesama masyarakat Jawa saja, melainkan juga keharmonisan terhadap seluruh manusia terlepas dari latar belakang etnisitas, kepercayaan, dan juga status sosial-ekonominya. Selain itu, keharmonisan tersebut juga mengacu pada diri sendiri, ditandai dengan adanya keharmonisan dengan diri sendiri yang dapat ditempuh baik dengan keharmonisan dengan sesama maupun dengan ‘alam semesta’. Selain itu, nilai dalam kebudayaan Jawa yang menyangkut dengan keharmonisan adalah adalah kewajiban dalam mencari pengetahuan. Pencarian pengetahuan tersebut menjadi hal yang penting dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, adanya usaha keras juga menjadi kewajiban penting dalam konteks kebudayaan Jawa. Usaha keras tersebut harus berlandaskan pada kemauan yang kukuh, kesungguhan hati, tekad, serta semangat, karena empat hal tersebut dapat memberikan kekuatan, ketabahan, serta kegigihan (ibid). Mengacu pada penjelasan di atas, maka kehamornisan tersebut merupakan hal yang penting dan juga terdapat dalam diskusi mengenai keterkaitan antara keharmonisan sosial dalam konteks kebudayaan, dan dalam hal ini, adalah kebudayaan Jawa.

2. Kebahagiaan
Dalam konteks psikologi, kebahagiaan disebut juga sebagai subjective well-being atau SWB. Veenhoven (2012) menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan penilaian subjektif dari kualitas hidupnya secara keseluruhan (Veenhoven, 2012). Sedangkan menurut Diener (2000), kebahagiaan atau SWB merujuk pada evaluasi dari seorang individu terhadap hidupnya dan di dalamnya terdapat evaluasi afektif dan juga kognitif (Diener, 2000). Terlebih lagi, SWB terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen afektif yang merujuk pada dominasi afeksi positif dan juga afeksi negatif, sedangkan komponen kognitif merujuk pada kepuasan akan kehidupan yang dijalankan oleh seorang individu secara umum. Sehingga dalam hal ini, penjelasan tersebut menjelaskan bahwa pemaknaan terhadap kebahagiaan dalam kehidupan seorang individu tersebut dapat berasal dari bagaimana dirinya memaknai indikator dari kebahagiaan itu sendiri, meskipun memang secara umum subjektivitas dari kebahagiaan tersebut dapat ditemukan kesamaannya dari setiap individu. Maka dari itu, Akthat (2018) menjelaskan bahwa terdapat sebuah tren yang menunjukkan adanya beberapa masyarakat yang mengadaptasikan faktor-faktor psikologis seperti well-being, kebahagiaan, serta kepuasan hidup sebagai salah satu indikator kesuksesan nasional. Oleh sebab itu, pengukuran terhadap kebahagiaan pada akhirnya menjadi ikut berkembang sebagaimana dapat digunakan sebagai alat ukur yang akurat.
Lebih lanjut, diskursus kebahagiaan dapat ditemukan dalam beberapa penelitian mengenai keterkaitan antara kebahagiaan dengan latar belakang wilayah tempat tinggal dari individu. Casmini & Sadiah (2019) mengatakan bahwa konsep kebahagiaan tersebut dapat disesuaikan dengan konteks wilayah tempat tinggal yang dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat yang tinggal pada kawasan perkotaan besar atau urban serta pada masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan pinggiran/pedesaan. Dalam masyarakat urban, masyarakat cenderung untuk memaknai kebahagiaan dengan ketercapaian pada kondisi hidup yang dapat dikatakan kompleks dan juga cenderung untuk mencapai kebahagiaan ketika menjadi ‘pemenang’ dalam segi kompetisi, baik dalam segi kompetisi dalam kerangka modal sosial maupun dalam kerangka status sosial-ekonomi. Sedangkan pada masyarakat pinggiran/pedesaan, masyarakat tersebut cenderung berada pada kondisi hidup yang lebih sederhana, dan hal tersebut tercerminkan dalam bentuk pencapaian yang diharapkan untuk diperoleh, dan hal tersebut juga berpengaruh pada pemaknaan mengenai kebahagiaan pada hidup mereka (Casmini & Sandiah, 2019).
Selain itu, Amato & Zuo (1992) dalam Casmini & Sandiah (2019) mengatakan bahwa aspek ekonomi cenderung untuk mempengaruhi konsep mengenai diskursus mengenai kebahagiaan, terutama pada masyarakat pinggiran/pedesaan. Alasan aplikasi konsep kemiskinan pada diskursus kebahagiaan tersebut adalah karena kemiskinan merupakan realitas sosial yang dapat berbuah pada adanya anggapan dan/atau stereotype, sehingga pada akhirnya dimanifestasikan dalam bentuk perlakuan sosial yang variatif. Hal tersebut pada akhirnya berkaitan pula dengan konstruksi mengenai kemiskinan serta kesejahteraan.
Disamping itu, Akhtar (2018) juga menjelaskan bahwa evaluasi subjektif dari seorang individu terhadap kehidupannya dapat dipengaruhi juga oleh bagaimana pemaknaan yang dikonstruksikan oleh kebudayaan dan identitas kebangsaan yang tertanam pada individu (Akhtar, 2018). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat terlihat bahwa pemaknaan individu terhadap kebahagiaan dapat dilihat juga dari konteks kultural.


3. Kebahagiaan dalam Konteks Kultural
Kiyatama, Mesquita, & Karasawa (2006) dalam Akhtar (2018) menjelaskan bahwa dalam kerangka teori yang berfokus pada kebudayaan, emosi bukanlah hanya hasil dari mekanisme psikologis maupun neurologis, melainkan merupakan reaksi dari adanya pemaknaan dan juga pemahaman terhadap konteks budaya yang melekat pada individu. Kemudian Kitayama & Markus (2000) pada Akhtar (2018) mengambil contoh pada konteks kebudayaan Amerika Serikat dan Eropa. Dalam konteks kebudayaan tersebut, individu pada umumnya menggambarkan kebahagiaan dengan adanya kemerdekaan diri atau independence serta autonomy atau otonomi dari diri. Sehingga dalam kerangka ini, diri atau self menjadi acuan utama.
Beranjak dari Eropa, pada konteks kebudayaan Asia Timur, keseimbangan sosial menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, konteks Asia Timur menunjukkan adanya pengaruh dari kebudayaan yang dicerminkan oleh kepercayaan Kong Hu Cu serta Budha dan Taoisme. Ketiga ajaran tersebut mengajarkan bahwasannya harmoni merupakan hal yang utama untuk dapat mencapai kedamaian dalam hidup, yang didalamnya termasuk pula kebahagiaan. Selain itu, ketiga ajaran tersebut juga mengajarkan bahwasannya aspek positif dan negatif dapat muncul dengan bersamaan dan hal tersebut dapat menimbulkan kebahagiaan bagi individu (ibid). Berdasarkan penjelasan tersebut, kebahagiaan dalam konteks masyarakat Amerika Serikat dan Eropa serta yang ditemukan pada konteks Asia Timur tersebut menunjukkan bahwasannya konsep kebahagiaan tersebut berbeda pada setiap konteks geografis, namun perbedaan pada konteks geografis tersebut terjadi karena adanya perbedaan aliran kepercayaan yang berkembang pada wilayah yang bersangkutan. Dan kita dapat melihat perbedaan antara kedua kebudayaan berdasarkan pada titik dari fokus akan kebahagiaan tersebut, yang mana pada kebudayaan Amerika Serikat dan Eropa mengacu pada individualisme dan adanya ketercapaian diri pada kebebasan dan juga kemerdekaan secara ekonomi dan juga sosial, sedangkan pada konteks Asia Timur mengacu pada adanya kedamaian dalam diri, dan kedamaian dengan konteks sosial dengan setiap orang, dan juga adanya kedamaian terhadap alam. Dalam telaah lebih lanjut, khususnya pada konteks kebahagiaan di Asia Timur yang terpengaruh oleh ajaran Kong Hu Cu atau Confucius, menekankan adanya kondisi ketersinambungan antara kebahagiaan dan ketidakbahagiaan sehingga daripadanya orang seharusnya tidak mengejar kebahagiaan secara ekstrim, melainkan harus mencapai homeostasis internal, yang merujuk pada adanya proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan oleh individu untuk dapat mempertahankan kondisi konstan agar tubuhnya dapat berfungsi dengan normal meskipun terjadi perubahan pada lingkungan, maupun yang terdapat di dalam tubuh seorang individu itu sendiri.


4. Kebahagiaan dalam Konteks Kultural Jawa
Salah satu ajaran dari budaya Jawa yang melahirkan konsep kebahagiaan adalah ajaran yang dikemukakan oleh Ki Ageng Suryomentaram, yaitu ajaran kawruh jiwa. Inti dari ajaran kawruh jiwa menurut Ki Ageng ini adalah rasa sungguh-sungguh belajar dan berusaha menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam menjalani hidup antar sesama dengan mengedepankan ikatan erat rasa persaudaraan. Kebahagiaan yang menjadi konsep dasar oleh Ki Ageng ini kemudian membentuk seluruh pola pikirnya, yang kemudian konsep kebahagiaan tersebut merupakan adanya keinginan-keinginan seorang individu yang terpenuhi, dan juga individu tidak boleh melakukan sesuatu secara berlebihan dengan menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, sehingga semuanya harus berada di batas kewajaran. Hal ini merupakan hakikat dari kebahagiaan yang mana terdapat keseimbangan dalam menjalankan sesuatu hal, kebahagiaan harus terlepas dari sebuah keinginan, karena rasa itu muncul dengan sendirinya. Dalam budaya Jawa, keinginan atau hasrat disebut sebagai karep. Namun, tercapainya karep belum tentu menjamin rasa kebahagiaan bagi seseorang, karena pada dasarnya keinginan seseorang akan terus mengembang, dan akan terus berubah-ubah sesuai objektivitasnya dalam hidup di dalam suatu dinamika masyarakat. Begitupun sebaliknya, dengan tidak tercapainya karep tersebut, maka belum tentu seorang individu merasakan kesulitan, sedih, dan kecewa dalam waktu yang berlarut-larut, karena keinginan juga bisa menyusut seiring dengan realitas sosial yang ada. Kemudian, adanya rasa tabah atau dalam bahasa jawa disebut sebagai raos tatag, yang artinya menerima semua kondisi apapun dengan lapang dada, baik susah atau senang, penerimaan tersebut tidaklah berasal dari proses yang pendek, namun harus memiliki proses yang panjang. Pada dasarnya, individu itu sendiri lah yang dapat mengawasi keinginannya sendiri dan mengatur kebahagiaannya sendiri. Maka dari itu, individu yang memiliki latar belakang budaya Jawa, sering dikatakan sebagai individu yang legowo, atau artinya adalah menerima apapun keadaannya (Akhtar, 2018,).  Seiring berjalannya waktu, teknologi yang sudah semakin berkembang dan juga modernisasi yang semakin masif, alat ukur kebahagiaan menurut perspektif budaya Jawa memang harus terus diperbaharui berdasarkan tahapan-tahapan pentingnya, yaitu penyusunan konsep kebahagiaan masyarakat Jawa, dan indikator kebahagiaan masyarakat Jawa, terlebih lagi saat ini banyak sekali masyarakat pendatang yang berasal dari luar budaya Jawa namun tinggal di daerah Jawa. Hal-hal tersebutlah yang kemudian harus diuji kembali validitas dan reliabilitasnya. 

D. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang akan coba peneliti angkat terbagi menjadi beberapa hal, yang pertama adalah bagaimana masyarakat Jawa memaknai kebahagiaan dalam konteks hidup di dalam masyarakat adat, dan juga peneliti ingin mengetahui bagaimana kebahagiaan masyarakat Jawa tersebut dapat memicu adanya keharmonisan sosial. Peneliti akan menggunakan konsep-konsep yang telah ada di atas sebagai variabel analisis peneliti dalam merancang topik penelitian Kebahagiaan dalam Konteks Budaya Jawa.
1.Bagaimana konsep kebahagiaan dalam konteks kebudayaan Jawa?
2.Bagaimana kebahagiaan dalam konteks masyarakat Jawa tersebut terkait dengan konsep keharmonisan sosial

E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian literature review. Desain penelitian literature review merupakan disain penelitian yang mengacu pada dokumen-dokumen tertulis seperti buku, artikel jurnal, karya ilmiah, makalah konferensi, serta dokumen-dokumen terkait yang berisikan dan/atau hasil penelitiannya memiliki keterkaitan dengan topik penelitian yang dibahas oleh penelitian. Pada penelitian ini, peneliti akan meninjau literatur-literatur yang berkaitan dengan tema kebahagiaan, keharmonisan sosial, serta pembahasan mengenai dua variabel tersebut dalam konteks kebudayaan Jawa.

2. Variabel Penelitian
Variabel dependen dalam penelitian ini merupakan keharmonisan sosial dan kebahagiaan dalam konteks masyarakat Jawa, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah nilai-nilai kebudayaan Jawa.

3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data literature review; sehingga dalam hal ini, peneliti merujuk pada literatur-literatur yang telah diperoleh peneliti sebagai sumber data serta menjadi acuan dalam landasan teorertis dan juga hasil yang ditemukan pada penelitian tersebut. Nantinya, peneliti akan mengelompokkan literatur-literatur yang telah diperoleh pada suatu kerangka tematik; kerangka tematik tersebut merujuk pada adanya pengelompokkan literatur-literatur yang dikategorikan berdasarkan dengan variabel-variabel dna juga hasil temuannya serta akan dijadikan rujukan dalam hasil pembahasan dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data
Sebagaimana yang dikatakan oleh Braun & Clarke (2006), terdapat tiga tahapan dalam metode penelitian literature review, yaitu compare, contrast, dan criticize. Compare merujuk pada identifikasi kesamaan dalam beberapa literatur; contrast merujuk pada identifikasi perbedaan dalam beberapa literatur dan kemudian menghasilkan kesimpulan; dan criticize merujuk pada pemberian pendapat pribadi mengenai sumber yang dijadikan acuan dalam penelitian.

Daftar Pustaka

Akhtar, H. (2018). Perspektif Kultural untuk Pengembangan Pengukuran Kebahagiaan Orang Jawa. Jurnal Buletin Psikologi, 26(1), 54-63.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun