Secara finansial, berinvestasi pada jaring kehidupan ini jauh lebih cerdas daripada membangun perisai beton. Perhitungan Social Return on Investment (SROI) pada program konservasi bambu di NTT dan NTB menunjukkan bahwa setiap rupiah yang diinvestasikan memberikan nilai kembali yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan. Biaya menanam dan merawat bambu jauh lebih rendah daripada biaya konstruksi dan pemeliharaan dinding penahan tanah. Terlebih lagi, perisai beton adalah aset yang terdepresiasi, sementara perisai bambu adalah aset yang terus tumbuh, meregenerasi diri, dan bahkan menghasilkan pendapatan. Ini adalah argumen kuat yang harus dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan dalam mengalokasikan anggaran mitigasi bencana. Pada akhirnya, di hadapan kekuatan alam yang dahsyat, solusi terbaik seringkali bukanlah melawannya dengan beton, melainkan bekerja bersamanya dengan kearifan. Jaring kehidupan yang ditenun oleh akar bambu adalah perwujudan dari kearifan tersebut. Ia adalah perisai senyap yang melindungi jutaan nyawa, sebuah infrastruktur hijau yang tumbuh, memperbaiki diri, dan memberikan manfaat ekonomi secara bersamaan. Sudah saatnya kita berhenti mengabaikannya. Dengan menjadikan bambu sebagai sekutu utama kita dalam menghadapi ancaman longsor, kita tidak hanya akan menyelamatkan nyawa dan harta benda, tetapi juga menenun kembali hubungan yang harmonis antara manusia dan alam di lereng-lereng nusantara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI