Saat itu memang hari Rabu kelabu. Kelabu nan sendu. Seorang gadis berpakaian abu-abu berlari keluar dari rumahnya yang bercat biru. Tahukah engkau, langit kala itu tertutupi mendung menggantung dan hujan renyai yang tak kunjung usai. Kebetulan pula hatinya si gadis kala itu juga dibanjiri dengan keputusasaan yang benar-benar menyakitkan. Ya, dia dirudung kegalauan yang mendalam. Dia sudah tak tahan menjalani kehidupan. Mengapa demikian? Well, begitu banyak tekanan dari dalam dan luar. Kehidupan terasa amat sangat keras hingga akhirnya dia berencana mengakhiri hidup yang dia punya.Â
Sejujurnya, dia takut akan kematian. Dan tentunya amalnya pun belum bisa bantunya menghadap kepada Tuhan. Akan tetapi, dia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk bertahan menjalani kejam dan kerasnya kehidupan. Terlalu banyak tekanan dari keluarga maupun masyarakat sekitar. Ya, dia selalu merasa bahwa dirinya hanyalah sosok manusia durjana atau memang dia tertakdir tak berguna. Setiap harinya dia dicaci dan dipergunjingkan orang-orang di sekelilingnya.
Dia juga berkali-kali bertengkar dengan keluarganya yang mempertanyakan masa depannya hingga akhirnya selalu berujung dengan pilunya tangisan. Terlebih lagi, baru saja terjadi perselisihan dahsyat dengan kedua orang tuanya hingga akhirnya seolah-olah mata kehabisan air mata. Ya Tuhan, mengapa jalan kehidupannya harus seperti ini? Tanyanya dalam hati. Dia punya banyak impian masa depan, namun mengapa tak bisa dia wujudkan? Kini dia merasa bahwa usianya sudah mendekati senja meski realitanya dia baru berusia dua puluh lima. Sejatinya, dia merasa kecewa terhadap dirinya sebab dia belum bisa berubuat apa-apa untuk hidupnya. Apa yang terjadi sebetulnya? Sungguh, dia benar-benar putus asa dan lelah dengan kehidupan yang ada.Â
Dia genggam erat tali besar yang orang-orang Jawa sering bilang sebagai "tampar". Dia kala itu telah memutuskan untuk pergi tinggalkan dunia dengan melakukan gantung diri walau dia juga tak tahu apa yang akan dia temui ketika rohnya telah pergi tinggalkan raganya untuk selamanya. Entah setan apa yang merasukinya, namun yang jelas dia tetap berlari keluar dari rumahnya menuju sebuah taman sunyi yang jarang ada penghuni. Benar, taman itu memang dulunya indah tetapi tak ada yang lagi merawatnya hingga akhirnya dipenuhi semak belukar dan pohon-pohon besar yang tampak suram.Â
Sebelum sampai ke taman yang dia tuju, dia sempat melihat sirine mobil polisi melaju cepat dan berhenti di sebuah Puskesmas yang terletak tak jauh dari rumahnya. Dua atau tiga orang sama berkumpul ke sana untuk mengetahui mengapa tiba-tiba ada pihak polisi yang datang menghampiri. Ah, dia tak acuhkan kejadian itu. Dia hanya terus berlari dan fokus untuk melakukan aksi bunuh diri.Â
Sesampainya di taman suram itu, sambil menangis tersedu-sedu, dia mulai memanjat salah satu pohon yang telah tumbuh di sana bertahun-tahun lamanya. Pohon itu memang sangat besar namun terlihat mencekam dan amat tua usianya. Renyainya hujan masih belum reda jua, kendati hatinya si dia pun semakin sesak penuh kesakitan. Ibunya pasti mencari keberadaannya. Begitu juga ayahnya. Namun dia sudah tak sanggup lagi menjalani kehidupannya yang kelam sekelam awan yang membawa derai hujan di hari yang memilukan.
Akhirnya ia berhasil merekatkan tali besar yang dia bawa di batang pohon besar itu. Sambil menutup matanya, dia bersiap menggantung dirinya di sana. Namun tak dinyana, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik-narik kain celananya. Saat dibukanya matanya, dia melihat seorang anak remaja muda yang masih belia usianya. Ya Tuhan, apalagi ini. Gerutunya dalam hati. Alhasil, dia tunda aksi suicide yang hampir dia lakukan.Â
"Kakak sedang apa?", tanya bocah remaja itu.
"Akhiri hidup," jawab si gadis itu.
"Maksudnya Kakak ingin tinggalkan dunia?", tanya bocah itu lagi.
"Ya, aku lelah dengan hidupku," jawab gadis itu seadanya.