Mohon tunggu...
Yayuk Sri Rahayu
Yayuk Sri Rahayu Mohon Tunggu... ASN

Hobbi olahraga, traveling dan suka mempelajari hal-hal baru

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Hukum Tumpul ke Atas: Catatan tentang Dua Wajah Keadilan Negeri Ini.

28 Mei 2025   13:26 Diperbarui: 28 Mei 2025   13:26 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: ilustrasi ai

Baru-baru ini, linimasa media sosial saya kembali dipenuhi berita yang membuat hati sesak. Seorang nenek renta, mengambil tujuh batang kayu di hutan Perhutani untuk memasak demi cucunya yang kelaparan, dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Sementara di sisi lain, seorang terpidana korupsi kelas kakap yang merugikan negara triliunan rupiah, justru mendapat keringanan hukuman, dengan alasan "berkelakuan baik".

Ironi ini bukan baru sekali terjadi. Kita sudah terlalu sering menyaksikan pertunjukan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tapi setiap kali itu terjadi, kita tetap terhenyak. Karena seolah-olah hukum yang semestinya menjadi pelindung rakyat, justru berubah menjadi alat penindas mereka yang tak bersuara.

Sebagai seorang perencana, saya melihat ini bukan sekadar soal vonis atau pasal-pasal, tapi lebih dalam: ini adalah kegagalan perencanaan kebijakan yang adil dan berpihak.

Dua Wajah Keadilan: Bukan Lagi Sekadar Ketimpangan

Mengapa seorang nenek bisa dipenjara selama tujuh tahun hanya karena kayu bakar? Karena dia tidak punya kuasa, tidak punya pengacara, dan tidak ada kamera yang membelanya. Sementara koruptor punya segalanya: pengacara mahal, jaringan kekuasaan, dan bahkan simpati dari sebagian oknum institusi hukum.

Di sinilah kita menyaksikan dua wajah hukum:

  • Satu yang dingin dan keras untuk rakyat kecil yang bahkan tak paham hak hukumnya.
  • Satu lagi yang lentur dan hangat untuk mereka yang bisa "membeli" keadilan.

Apa Kata Pembangunan Tentang Ini?

Sebagai bagian dari birokrasi perencanaan, saya belajar bahwa hukum bukan hanya alat penertiban, tapi juga fondasi kepercayaan publik. Ketika hukum terlihat berpihak kepada yang kuat, maka:

  • Rakyat kehilangan kepercayaan pada negara.
  • Kebijakan sosial kehilangan makna.
  • Program keadilan hanya menjadi formalitas.

Padahal, keadilan sosial adalah elemen kunci dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs). Ketika orang miskin diperlakukan seolah lebih jahat dari koruptor, maka pembangunan bukan hanya gagal, tapi juga menghina nilai kemanusiaan.

Membangun Keadilan yang Berpihak

Fenomena ini harus menjadi refleksi kita bersama. Beberapa hal yang bisa kita dorong:

  1. Restorative Justice untuk Kasus Kecil
    Jangan penjarakan orang karena miskin. Dorong mekanisme keadilan restoratif, terutama bagi pelanggaran ringan dan yang menyangkut kebutuhan dasar hidup.
  2. Reformasi Perlindungan Hukum untuk Warga Rentan
    Bantuan hukum harus aktif menyasar desa-desa dan lapisan masyarakat bawah. Negara wajib hadir sejak proses awal, bukan setelah divonis atau bahkan setelah viral.
  3. Evaluasi Pola Pengurangan Hukuman
    "Berkelakuan baik" tidak boleh menjadi tameng impunitas koruptor. Harus ada parameter moral dan sosial yang jelas dalam setiap kebijakan remisi.
  4. Transparansi dalam Proses Hukum
    Putusan hukum, terutama yang menyangkut pejabat dan elite ekonomi, harus dibuka ke publik secara detail, bukan sekadar dikabarkan hasil akhirnya.

Masyarakat Tidak Butuh Hukum yang Sempurna, Tapi yang Adil

Sebagai rakyat dan sebagai bagian dari birokrasi yang ikut merumuskan arah pembangunan, saya percaya satu hal yaitu Hukum harus berpihak kepada yang paling membutuhkan perlindungan. Kalau hukum hanya keras kepada yang lemah, dan lunak kepada yang kuat, maka kita sedang membangun jurang ketidakadilan yang akan kita wariskan pada generasi berikutnya. Mungkin nenek itu hanya mengambil tujuh batang kayu. Tapi ketidakadilan yang dirasakannya, bisa jadi lebih menusuk daripada seribu pasal hukum.

Sudah jadi pola yang akrab di negeri ini, ketika ketimpangan hukum tersorot publik, negara seolah terbangun dari tidur panjang. Aparat tiba-tiba gesit, pejabat berkomentar, media ramai memberitakan, dan netizen jadi pembela gagah berani. Tetapi kita semua tahu, itu tak bertahan lama.

Setelah viralnya reda, kamera berpaling, dan linimasa tak lagi membahas, semuanya kembali ke titik nol. Kasus-kasus besar tenggelam ditimpa isu baru. Hukum yang tadinya "ditegakkan" perlahan kehilangan jejaknya. Pelaku mulai dilupakan, korban tetap merana, dan keadilan kembali jadi wacana kosong. Netizen pun diam. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu sering kecewa. Mereka hanya hadir sebentar, bersuara sekuatnya, lalu lelah sendiri melihat hukum yang cuma tegas saat jadi sorotan. Hari ini membela nenek pencuri kayu, besok sudah beralih ke selebritas yang bertengkar karena hal sepele.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun