Malam itu, setelah riuh tawa anak-anak berganti dengan dengkur halus dari kamar mereka, hanya kami berdua yang tersisa di meja makan. Di antara piring-piring yang sudah tandas, tergeletak dua lembar kertas yang terasa lebih berat dari bobotnya. Kertas art paper licin, penuh warna-warni ceria dan foto anak-anak tersenyum. Satu brosur TK, satu lagi untuk SD.
"Angkanya lumayan juga ya, Yah," istriku, yang biasa kupanggil Mama, membuka percakapan. Suaranya tenang, seperti biasa, tapi aku bisa menangkap nada penuh pertimbangan di dalamnya. Ia menunjuk kolom rincian biaya, yang sedari tadi kuperhatikan dalam diam.
Aku menghela napas, lega karena akhirnya kami bisa membahas apa yang membebani pikiranku sejak sore. "Aku dari tadi hitung-hitung di kepala, Ma. Uang pangkal, SPP, seragam... kalau ditotal, ini setara motor skutik baru. Untuk dua anak sekaligus."
Mama mengangguk pelan, matanya menatapku lekat. "Aku tahu. Tapi, lihat wajah mereka pas lihat gambar-gambar ini tadi. Semangat banget."
Di situlah letak inti persoalannya. Di satu sisi, ada kebahagiaan murni di mata anak-anak kami. Di sisi lain, ada kenyataan finansial yang harus kami hadapi sebagai 'generasi sandwich'. Di usia awal kepala tiga, kami berdiri di tengah-tengah. Mendorong masa depan anak-anak, sekaligus menopang generasi orang tua kami.
"Bukan cuma soal biaya sekolah ini, Ma," aku melanjutkan, memberanikan diri menyuarakan kecemasan yang lebih dalam. "Aku kepikiran masa depan kita. Aku punya mimpi, kita bisa benar-benar merdeka finansial pas umur 45 nanti. Kamu bisa terus fokus di kegiatan sosialmu tanpa perlu khawatir soal dapur, dan anak-anak bisa punya pilihan untuk jadi apa pun yang mereka mau."
Istriku tersenyum, senyum yang selalu berhasil menenangkan badai di kepalaku. Ia menggeser kursinya lebih dekat. "Aku suka mimpi itu, Yah. Itu bukan mimpi kamu, itu mimpi kita."
Satu kata itu---'kita'---mengubah segalanya. Beban di pundakku terasa terbagi dua. Kecemasan yang tadinya milikku sendiri, kini menjadi sebuah tantangan untuk kami taklukkan bersama.
"Oke," katanya penuh semangat. "Kalau begitu, tabungan biasa jelas nggak akan cukup melawan inflasi. Gaji kita memang naik, tapi biaya hidup naiknya lebih cepat. Kita butuh sesuatu yang bisa jadi fondasi, bukan cuma wadah."
Diskusi kami malam itu menjadi lebih dalam dari biasanya. Kami bukan lagi sekadar suami-istri yang cemas, tapi dua orang manajer keuangan yang sedang menyusun strategi untuk perusahaan terpenting di dunia: keluarga kami.