Aku setuju. Dan ritual itu berjalan hingga hari ini. Kadang kami mentransfer dari sisa uang belanja mingguan, kadang dari bonus kecil pekerjaanku. Setiap gram yang bertambah di saldo digital kami terasa seperti meletakkan satu bata lagi untuk rumah masa depan kami. Melihat istriku tersenyum setiap kali kami berhasil mencapai target bulanan kami, aku semakin yakin. Inilah cara kami, sebagai satu tim, memaknai slogan Pegadaian mengEMASkan Indonesia. Kami memulainya dari unit terkecilnya, dari diskusi hangat di meja makan kami.
Brosur sekolah itu masih tertempel di pintu kulkas, sebagai pengingat mimpi dan tujuan kami. Namun kini, kami melihatnya dengan cara yang sama sekali berbeda.
"Lihat angka ini sekarang udah nggak bikin deg-degan lagi ya," kata istriku suatu pagi sambil membuat sarapan.
Aku tersenyum dan memeluknya dari belakang. "Enggak. Karena sekarang kita nggak cuma lihat masalahnya. Kita sudah pegang solusinya. Bersama."
Dan di dalam kebersamaan itulah, kami menemukan emas yang paling berharga.
Aku tahu, kelak saat anak-anakku dewasa dan membaca tulisan ini, yang akan mereka ingat bukanlah betapa mahalnya biaya sekolah mereka. Tapi aku berharap mereka akan merasakan dampaknya dalam setiap pilihan hidup yang bisa mereka ambil dengan bebas. Mereka akan merasakan sebuah rasa aman, sebuah kesempatan untuk mengejar mimpi tanpa dibayangi keraguan, dan semoga, mereka melihat contoh dari orangtua yang berjuang sekuat tenaga untuk mengubah kecemasan menjadi sebuah fondasi. Sebuah fondasi kokoh yang terbuat dari cinta, kerja keras, dan tentu saja, sedikit kilau emas yang disimpan dengan setia di dunia digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI