Utari sekilas melihat penampilannya yang sedikit dekil. Piyama tidur kedodoran, dan kulit yang dirawat seadanya. Bahkan dia selalu menolak jika salah satu asisten membawakannya juru rias ternama. Dia tidak suka memakai kosmetik berlebihan, meski hal itu wajar untuk menunjang karir sang suami.
Jika dia cantik, maka citra suaminya juga pasti akan lebih baik lagi. Mulai saat itu, Utari berjanji dalam hati bahwa sedikit demi sedikit dia akan berusaha merias diri. Termasuk juga mendatangi dokter kulit yang direkomendasikan para ibu-ibu PKK.
"Kamu tidak ikut?" ekor mata Puspa Ayu memperhatikan penampilan Utari dalam balutan setelan baju tidur sederhana. Rambutnya yang panjang sepinggang tampak tergerai indah. Tidak ada riasan yang menghias wajah menawan itu. Harus diakui, dia benci melihat kepolosan gadis itu.
"Aku titip Mas Bagus, ya. Sebenernya kepengin ikut, tapi tubuhku suka masuk angin kalo keluar malam melebihi jam sepuluh."
"Oh."
"Denger-denger Mbak Windri juga jadi salah satu waranggana, ya?"
"Ehm. Kalo ada pertunjukan lokal, dia memang selalu dipanggil menjadi salah satu bagian."
Ada nada masam yang coba disembunyikan dalam perkataan tenang itu. Sebenarnya Utari ingin menggali informasi lebih banyak lagi mengenai hubungan antara Windri dan Bagus di masa lalu. Sayang, sebuah deheman keras membuat mereka menghentikan apapun percakapan yang seharusnya masih berlanjut itu.
Bukan hanya Puspa Ayu yang terlihat terpesona. Bahkan Utari lupa untuk mengatupkan bibirnya. Bagus Pandhita dalam pakaian Dinas, atau setelan batik? Itu pemandangan yang sangat biasa. Tapi kali ini ada sedikit yang berbeda, karena Bagus memakai pakaian beskap lengkap berwarna hitam.
"Kenapa? Kok, pada bengong?" Bagus menjentikkan jarinya begitu sudah berada di samping Utari. Sementara Puspa Ayu berusaha mengusir kecanggungan dengan meminta diri, dia akan menunggu di depan bersama Pak Uyun.
"Kok, Mas Bagus nggak bilang kalo bakalan pake baju kayak gini?" Utari masih menatap penampilan suaminya tanpa berkedip.