"Mas Bagus memang keterlaluan! Mas Bagus jahat! Aku benci Mas!" isak Utari semakin kencang.
Tangannya berusaha menyingkirkan tubuh Bagus yang berusaha memeluknya. Namun Bagus masih bergeming di tempatnya. Tangan Utari memukul-mukul dada pria itu, hingga akhirnya dia menjatuhkan diri di dalam dekapan Bagus Pandhita.
Utari menangis sesenggukan, hingga airmatanya membasahi kemeja biru yang dipakai pria itu. Gadis itu baru menyadari, jika suaminya masih mengenakan baju yang sama dengan yang dipakai tadi siang. Jadi, bahkan Bagus belum sempat mandi.
"Kok tambah kenceng, sih. Kamu bener-bener niat ya, bikin bajuku basah. Atau kamu pengin kita tenggelam sama airmata kamu?" Bagus Pandhita mengelus-elus rambut Utari dengan lembut, yang justru semakin membuat gadis itu kian menangis kencang.
"Mas Bagus rese!" setelah tangisnya reda, Utari berusaha mengurai pelukan pria itu namun gagal.
"Gini aja, deh. Aku udah terlanjur nyaman." Utari hanya mampu menarik napas, ketika Bagus justru menyandarkan dagunya di puncak kepalanya. "Jangan melarikan diri lagi. Bikin orang jantungan aja."
Utari membersit hidungnya dengan ujung baju. Dia kembali menyandarkan kepalanya di dada Bagus Pandhita yang masih basah. Gadis itu meringis bersalah. Tapi kenyamanan yang ditawarkan oleh tubuh itu, membuatnya melupakan sedikit dosa yang sudah dia buat.
"Mas."
"Ehm?"
"Kenapa Mas nggak marahin Riri? Padahal Riri kan udah salah."
"Bukan salah, hanya nggak bener aja."