Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 21

23 April 2021   20:43 Diperbarui: 23 April 2021   20:54 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Utari menjerit kecil ketika menemukan dirinya terbangun dengan memeluk tubuh hangat seseorang. Gadis itu menggeser tubuh menjauh, namun Bagus Pandhita menariknya kembali. Hingga Utari kini kembali berada di dalam dekapan hangat pria itu.

Jantung Utari langsung bertalu keras. Dia ingin melepaskan diri, namun bahkan tubuhnya mengkhianati. Seluruh otot di dalam tubuhnya seperti lumpuh. Utari tidak mampu bergerak. Akhirnya dia memilih diam saja dalam pelukan Bagus, sambil telinganya mendengarkan degup jantung pria itu yang anehnya justru terasa membuat dirinya damai.

"Biarkan seperti ini sebentar lagi. Aku tidak pernah menyangka, jika memelukmu terasa begitu menyenangkan."

"Ta---tapi ini sudah pagi. Kita harus shalat Shubuh dulu." Utari merasakan jika jantungnya sudah berdetak dengan tidak wajar. Sementara napasnya terasa kian sesak. Dia butuh segera mengirup udara segar, namun aroma tubuh Bagus juga terasa sangat menggoda. Rasanya sayang jika harus ditinggalkan.

"Baru jam setengah lima. Sepertinya kamu terbiasa bangun pagi, ya."

"Heem."

Bagus Pandhita mengecup ubun-ubun Utari dengan lembut, hingga gadis itu merasa darahnya berdesir kencang. Bagi Utari, pria itu terlalu sulit untuk ditolak.

"Mulai sekarang aku akan menjadi imammu. Jadi, ingatkan aku jika aku sudah melenceng dari jalan yang harus kita tempuh bersama."

"Aku---aku akan berusaha."

"Terima kasih karena sudah menerimaku. Mulai saat ini, kita harus berjanji untuk saling terbuka satu sama lain. Aku tidak mau kamu memendam suatu masalah sendirian. Aku adalah orang yang sangat terbuka. Lebih mudah bagiku untuk berbicara dari hati ke hati, daripada harus saling berdiam diri."

"Iya, aku mengerti."

"Lebih baik kamu bertanya kepadaku, daripada suatu saat berprasangka."

"Baiklah."

Bagus Pandhita sedikit menggeser posisi tubuh mereka, hingga tidak lagi saling menempel. Tangannya meraih dagu Utari, hingga jarak wajah mereka kini hanya beberapa inchi saja. Utari dapat merasakan embusan napas panas, dari hidung Bagus yang menerpa wajahnya.

Mata Utari membulat sempurna, ketika bibir pria itu perlahan menempel di atas bibirnya. Tanpa sadar, kedua telapak tangan Utari memegang sprei dengan erat. Hanya sebuah kecupan singkat. Mulanya memang hanya demikian. Namun semakin lama pertautan itu semakin intens saja.

Ini ciuman yang lembut dan hangat. Bagus terlihat tidak memaksa, tapi menggoda sedemikian rupa. Hingga Utari harus mengakui dan menyerah, atas kuasa yang menggelitik setiap bagian simpul syaraf di dalam tubuhnya.

"Ini hanya sebuah ciuman kecil, tapi aku tidak memiliki kesabaran lebih lama lagi. Aku ingin secepatnya menjadikanmu milikku, seutuhnya."

Bagus Pandhita menjauhkan tubuh. Dia tersenyum kecil, sambil mengusap bibir Utari dengan lembut. Gadis itu terlihat sangat menggemaskan. Istrinya itu terlihat cantik seperti biasa, meski baru bangun tidur.

Utari masih tidak bergerak di atas kasur, meski pria itu sudah meninggalkan dirinya beberapa saat lalu. Otaknya masih kacau, sementara tubuh Utari seperti tersihir. Itu tadi ciuman kedua mereka, setelah kejadian pertama di lift dulu. Namun ada yang terasa berbeda di sana. Itu bukan hanya kecupan singkat, Bagus Pandhita sudah mendapatkan semua milik Utari di sana.

Dia meraba bibirnya dengan tangan gemetar. Bibir Bagus Pandhita begitu hangat ketika menyentuh bibirnya. Pria itu sangat pandai menggoda, seakan dia memang sudah berpengalaman dengan hal itu. Utari memejamkan mata sejenak, sedikit bingung dengan reaksi tubuhnya. Ada bahagia menelusup ke dalam hatinya.

"Kenapa masih berbaring di situ? Katanya mau shalat."

"Ini---ini semua karena Mas!" Utari menggerutu kesal begitu menyadari jika kemungkinan suaminya sengaja menggoda.

Sambil memasang muka masam, gadis itu berjalan menuju kamar mandi. Dia sengaja menutup pintu dengan keras, hingga Bagus yang melihat tingkahnya tergelak. Bagus tidak menyangka saja, jika reaksi Utari benar-benar membuat dirinya bisa tertawa lepas sepagi itu.

Dia mulai memikirkan beberapa ide nakal. Mulai sekarang, mungkin dia akan lebih sering menggoda Utari, terutama dengan kecupan-kecupan ringan. Bibir gadis itu terasa sangat manis.

Terus terang saja, tadi dia sudah hampir lepas kontrol. Sayang, dia memang harus lebih menahan diri lagi agar tidak melewati batas. Dia tahu, akan membutuhkan waktu sangat banyak bagi mereka untuk saling menyesuaikan diri. Utari menyenangkan, namun itu saja tidak cukup dalam membina sebuah rumah tangga.

Hati Bagus tidak pernah terisi dengan wanita lain. Utari hanya satu-satunya. Hanya saja perkenalan singkat itu, terasa masih canggung. Utari terlihat masih enggan di dekati, meski dirinya sudah berusaha dengan segala cara. Sebagai pria berumur, tentu saja stok kesabarannya jauh lebih banyak. Menyerah sebelum berperang, tidak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Bagus Pandhita.

"Kita pulang saja, ya." Utari sedikit merengek ketika sudah tengah hari, namun mereka belum juga beranjak dari kamar.

"Tapi jatah menginap kita masih dua malam lagi. Jika lapar, pesan saja sesuatu." Bagus Pandhita tampak sibuk dengan laptop di meja sofa. Meski cuti beberapa hari, sepertinya dia masih saja mengurus pekerjaan.

Namun hal itu baik bagi Utari. Karena interaksi intens mereka, jadi banyak berkurang. Utari belum siap, jika Bagus mengingatkannya lagi akan peristiwa tadi pagi. Jika Bagus sibuk dengan laptop, maka Utari sibuk dengan ponsel. Namun dia sudah bosan setengah hari hanya tiduran dan melihat sosial media.

"Kenapa kita tidak langsung menuju rumah saja? Kenapa harus ada acara menginap di sini segala?"

Bagus mendongak sejenak, melihat Utari yang berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Rambut gadis itu begitu berantakan, begitu juga dengan pakaian yang dikenakan. Bagus harus menahan diri, agar tidak mendatangi dan merenggut kepolosan gadis itu.

Dia mulai berpikir jika dirinya adalah pria paling munafik. Di mulut dia bisa berkata jika dirinya masih tidak menginginkan Utari. Padahal mata dan hatinya sudah sinkron, bahwa Utari adalah makhluk yang sangat indah. Hanya orang bodoh saja, yang menyia-nyiakan kesempatan dengan hanya diam seperti dirinya.

"Kamu boleh jalan-jalan ke luar. Tidak ada yang menahanmu untuk tetap bertahan di kamar, seharian ini."

"Aku akan bertahan di sini!"

Bagus tersenyum ketika Utari beranjak dari kasur. Gadis itu berjalan menuju sofa, kemudian mengambil tempat duduk di samping Bagus. Dia melongok sejenak ke laptop di depan Bagus, sebelum menyalakan televisi.

"Kamu tidak lapar?"

Utari menggeleng, "Sebagai pekerja sibuk, dan kini harus menjadi pengangguran itu rasanya sangat tidak mengenakan. Kenapa kita tidak pergi ke Bali saja? Atau ke tempat lain yang lebih mengasyikkan?"

"Kamu yakin?" Bagus mengedipkan satu mata pada Utari.

"Yaa---nggak tau juga sih!" Utari merasa malu dengan mulutnya yang tidak bisa direm. Sudah jelas jika pernikahan mereka tidak lebih hanyalah perjanjian di atas kertas. Bagus tidak mencintainya, meski mereka sudah berjanji untuk belajar saling menerima.

"Aku tidak memiliki waktu untuk libur, setidaknya sampai akhir tahun ini. Jadi, aku mungkin tidak bisa mengajakmu bepergian selama beberapa bulan ke depan."

"Aku mengerti."

"Mungkin bagi oranglain, seseorang dengan jabatan sepertiku begitu mudah menjalani hidup. Aku tinggal menjalankan, sementara ada orang-orang yang sudah mengatur semua kegiatan yang akan dilakukan. Nyatanya, semua tidak sesederhana itu."

"Apa itu sangat sulit?"

Bagus menyandarkan punggung sambil memijat belakang lehernya yang terasa kaku. Utari menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu diserahkan kepada Bagus. Pria itu tersenyum sebagai tanda ucapan terima kasih, sebelum menerima gelas itu dan meneguknya dengan perlahan.

Sepertinya memang tidak mudah. Utari dapat melihat guratan kelelahan di wajah tampan itu. Pria itu kurang tidur, dan mengandalkan cukup banyak suplemen agar tubuhnya tidak ambruk. Mengorbankan dua hari untuk bulan madu yang sia-sia, dan meninggalkan kegiatan berharga pastilah sebuah pilihan sangat sulit.

"Aku menikmatinya. Aku sudah diberi kepercayaan oleh masyarakat, maka aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Tidak mudah menjadi pejabat yang amanah, tapi aku selalu berkomitmen akan melakukannya."

Utari jadi merasa sangat bersalah, "Nanti sore, kita pulang ke rumah. Mas bisa koordinasi dengan para staf tanpa mengangguku."

"Aku sudah mengalihkan semua jadwal pentingku selama dua hari ini." Bagus berkata dengan pelan. Namun Utari dapat merasakan, jika pria itu tidak sepenuhnya rela melepaskan tanggung jawab begitu saja.

"Jangan membuatku merasa bersalah. Kita tidak perlu berpura-pura. Aku cukup tahu kegiatan, Mas. Jadi, biarkan aku menjadi istri yang tidak egois. Biarkan aku menjadi panutan untuk istri pejabat lain."

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun