Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 12

11 April 2021   07:28 Diperbarui: 11 April 2021   07:30 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Bagus pernah menjalin hubungan dengan beberapa perempuan, namun tidak ada yang pernah berhasil. Siapa yang bisa menolak pesona pria seperti dia? Takdir itu sudah mengikatnya, jadi dia tidak mungkin bisa menikah dengan wanita lain."

Perkataan Naira masih menggantung di pikiran Utari. Tiba-tiba saja dia sangat ingin tahu, wanita seperti apa yang sudah mampu merebut hati pria itu. Dia sudah berhenti browsing di internet beberapa menit yang lalu. Entah mengapa, dia merasa semakin tidak percaya diri.

Dari tiga mantan kekasih Bagus Pandhita, ketiganya adalah wanita cerdas dengan karir gemilang. Diah Wening, menurut Naira, dia adalah kekasih terlama Bagus Pandhita. Wanita itu seorang dokter ahli bedah, yang merupakan seorang anak pengusaha ternama. Dia juga direktur utama sekaligus pemilik saham terbanyak, di rumah sakit di mana wanita itu bekerja.

Diah Wening sudah menikah dengan seorang Bankir dan dikaruniai dua orang anak. Wanita itu sangat cantik, dengan penampilan berkelas. Namun dia baru berpisah dengan sang suami, kurang lebih setahun lalu. Banyak desas desus beredar mengenai perceraian mereka, termasuk gosip adanya kehadiran orang ketiga di antara mereka.

Lalu kedua mantan Bagus Pandhita lainnya, mereka adalah model sukses yang memiliki butik di mana-mana. Jika dibandingkan, maka Utari tidak ada apa-apanya. Bagus Pandhita pasti harus menurunkan sekian puluh persen standar minimum, hanya untuk menerima gadis biasa seperti dirinya.

Gadis itu kembali menarik napas panjang, Dia mengubur wajahnya dalam-dalam di atas bantal, sebelum dering ponsel mengejutkannya. Wajahnya terlihat sumringah, ketika mengetahui siapa yang menghubungi.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Belum tidur?" tanya suara berat namun lembut seorang pria di ujung sana.

Utari seketika menggeleng, sebelum menyadari jika si penelpon tidak akan melihat tindakannya, "Belum. Bagaimana pekerjaan Bapak di sana?"

"Kamu tidak kangen?"

Utari memutar bola matanya, "Tidak. Lagian saya tidak punya pacar, jadi mau kangen sama siapa?"

Bagus terdengar berdehem sejenak, "Aku sengaja tidak pernah menyambangi kantormu, berharap kamu bisa menumpuk rindu itu kepadaku. Tapi aku pikir, usahaku ternyata sia-sia. Jadi mungkin setelah aku kembali, aku akan langsung mengumumkan acara pernikahan mereka."

"Apa?" teriak Utari sampai terbangun dari posisi berbaring nyamannya. Bagus juga sampai menjauhkan ponsel ketika suara Utari seperti mau memecahkan gendang telinganya, "jangan coba-coba, dan jangan berani-berani Kangmas---eh, Bapak melakukan itu!"

Bagus Pandhita merasakan darahnya berdesir dengan panggilan itu. Mulanya dia hanya ingin menggoda Utari, namun siapa sangka jika gadis itu menuruti perkataan sang Ibu. Pria itu memejamkan mata, merasakan hatinya yang menghangat setelah sudah entah berapa tahun terakhir dia jatuh cinta.

Dia tidak ingin lagi merasakan sakit karena harus kehilangan. Meski hatinya belum sepenuhnya menerima kehadiran Utari, namun dia sedang berusaha. Utari sangat cantik dan polos, terlihat mudah untuk mencintai sosoknya.

"Apa tadi kamu memanggilku dengan sebutan keramat itu?"

"Oh! Saya rasa Bapak salah dengar." Utari menepuk jidatnya keras, karena sudah terlalu cepat bereaksi.

"Tidak apa-apa jika sekarang kamu tidak mengakui. Karena masih banyak sekali waktu untukku mendengarmu memanggil dengan sebutan itu."

"Itu---itu tadi, ehm, Ibu yang menyuruh saya membiasakannya." Utari akhirnya memilih untuk mengaku daripada harus menjadi bahan ledekan.

"Terima kasih karena sudah mau mengunjungi rumah. Setelah menikah, aku ingin kita tinggal di sana."

"Itu---itu bisa kita bicarakan nanti."

"Apa kamu merasa keberatan?"

"Ehm, entahlah. Hanya saja itu sepertinya terlalu dini untuk dibicarakan. Karena siapa tahu, Kang---eh, Bapak berubah pikiran."

"Apa maksud dari ucapanmu itu, Utari?"

"Saya tidak mau Bapak menyesal menikah dengan saya. Karena saya hanya gadis biasa, tidak ada yang istimewa dari diri saya yang bisa Bapak banggakan nanti."

"Riri, kamu ngomong apa, sih? Apa Ibu berkata sesuatu yang membuat kamu tersinggung. Jika benar begitu, nanti aku akan bicara dengan Ibu."

"Bukan---bukan begitu, Pak. Hanya saja ini masih agak berat untuk saya."

"Tapi aku tidak bisa mengundurkan jadwal pernikahan kita."

"Saya tahu, Pak."

"Jadi kamu tetap mau berusaha bukan?"

"Insya allah."

"Kalau begitu jangan sedih lagi. Jangan membuatku cemas di sini, dan membatalkan semua acara hanya karena mendengar kamu menangis."

"Iya, tidak akan. Semoga kunjungan kerja Bapak sukses."

"Terima kasih."

"Iya. Kata Ibu, Bapak pandai bermain gamelan juga?" tanya Utari yang masih tidak percaya dengan sisi lain pria itu.

"Kamu juga ingin belajar? Nanti dengan senang hati, aku akan menjadi gurumu." Bagus teringat akan seperangkat gamelan di salah satu pojok Pendopo rumahnya. Hampir setiap sore banyak seniman Kabupaten berlatih karawitan di sana. Bayangan seorang wanita dengan suara mendayu, menyeruak ke dalam pikirannya.

"Bapak masih di sana?"

"Oh, ya. Apa tadi yang kamu tanyakan? Maaf, tadi aku sambil meneliti beberapa dokumen."

"Kalau Bapak sibuk, mending telponnya ditutup saja. Kita sambung lain waktu saja."

"Tidak, sekarang sudah selesai."

"Bener?"

"Ehm. Apa yang Ibu katakan kepadamu? Apa Ibu mengatakan semua kejelekanku?"

Utari tertawa kecil, mengingat semua yang dikatakan Naira kepadanya. Semua tentang Bagus Pandhita, sang putra semata wayang. Naira mengatakan semua hal, dari makanan kesukaan Bagus, hingga kebiasaan harian pria itu.

"Semua yang harus diketahui seorang calon istri mengenai suaminya. Saya tidak menyangka kalau Bapak seperti itu."

"Seperti itu, seperti apa?"

"Saya tidak akan memberitahu, sampai Bapak pulang dari Bali."

"Sudah pandai membuat penasaran ternyata. Aku tunggu janji kamu, dan kalau tidak dipenuhi tunggu saja pembalasannya."

"Bapak ini apaan, sih!"

"Kok manggilnya masih Bapak? Mulai sekarang biasakan panggil saya dengan Kangmas, Kaaangmas!"

Utari gelagapan tidak bisa menyahut. Untuk sesaat dia hanya diam, sementara lidahnya terasa kelu untuk melontarkan apapun perkataan yang ingin dia ucapkan. Jantungnya memukul dengan keras, seperti hendak terlontar dari tempatnya.

"Riri? Kamu masih belum tidur, kan?"

"I---iya."

"Kok kamu jadi pendiam gitu?"

"Nggak kok! Saya---saya---"

"Ya?"

Utari menarik napas panjang untuk melegakan dadanya yang tiba-tiba sesak, "Saya akan coba mencari pekerjaan lain."

Jeda sesaat. Bagus Pandhita sedang mencerna ucapan gadis itu, "Kenapa? Apa kamu tidak nyaman dengan suasana kantor?"

"Bukan begitu. Mungkin saya harus mulai memikirkan masa depan saya. karena setelah Bapak menikahi saya, maka kita tidak boleh bekerja pada instansi yang sama."

Bagus Pandhita mulai memahami maksud perkataan Utari. Gadis itu baru lulus dari sebuah Universitas Negeri ternama di kota Solo. Memang tidak adil rasanya harus mengikat gadis itu secepatnya. Namun, usia dan jabatannya tidak bisa menunggu lagi.

"Kalau begitu aku akan mempercepat acara pernikahan kita."

Bersambung...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun