Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Loyalitas Terbelah

23 Juli 2025   19:56 Diperbarui: 23 Juli 2025   19:56 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Laras tahu ada yang mati di antara mereka jauh sebelum bau bangkainya menusuk hidung. Sesuatu telah merayap pelan-pelan di sela-sela ranjang mereka, dingin dan bersisik, lalu melingkar di bawah bantal tempat Genta biasa meletakkan kepalanya yang penuh dengan rencana dan angka-angka. Sesuatu itu berbau seperti ambisi yang dibiarkan membusuk di bawah matahari Jakarta yang tak kenal ampun.
Malam itu, hujan turun seperti ribuan paku yang dihunjamkan ke atap seng kota. Genta pulang membawa bau ozon dan kelelahan yang palsu. Ia mencium kening Laras, ciuman yang terasa seperti stempel di atas dokumen mati. Tangannya, tangan yang sama yang pernah merengkuh pinggang Laras seakan hendak menyelamatkannya dari dunia yang kejam, kini terasa asing saat menyentuh bahunya.
"Dapat?" tanya Laras, suaranya nyaris ditelan gemuruh guntur.
Genta tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Matanya, sepasang mata elang yang dulu selalu menatap Laras seakan ia adalah satu-satunya mangsa di dunia, kini tampak keruh seperti air comberan. "Hampir. Presentasi Nalar Gempita katanya bagus sekali. Mereka punya ide yang segar."
Laras merasakan ular di bawah ranjang itu mendesis. Nalar Gempita. Tempat ia bekerja. Tempat ia menumpahkan keringat dan kopi pahit setiap hari. Ide segar yang Genta bicarakan adalah idenya. Ide yang ia ceritakan pada Genta dua minggu lalu, di atas ranjang yang sama, dalam bisikan-bisikan manja setelah percintaan yang ganas. Ia menceritakannya karena Genta adalah kekasihnya, rumahnya, tempat ia bisa telanjang tanpa perlu merasa malu, bukan hanya telanjang tubuh, tapi juga telanjang pikiran.
"Oh ya?" Laras memaksa bibirnya melengkung. "Ide seperti apa?"
Dan Genta menceritakannya. Ia membeberkan konsep kampanye digital itu dengan fasih, dengan detail yang mengerikan, seolah ide itu lahir dari rahim otaknya sendiri. Ia bahkan menggunakan istilah-istilah yang Laras gumamkan di antara kantuk dan desah napas. 'Interaksi afektif berbasis geo-lokasi', 'naratif personal yang terkurasi'. Kata-kata itu keluar dari mulut Genta seperti anak-anak haram yang tak mau mengakui ibunya.
Laras tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Genta, dan dalam cahaya lampu tidur yang temaram, ia bersumpah melihat bayangan kekasihnya itu terbelah menjadi dua. Satu Genta yang menatapnya dengan tatapan bersalah yang coba ditutupi, dan satu lagi Genta yang menyeringai licik di belakangnya, seekor iblis korporat dengan dasi sutra sebagai tali kekangnya.
Mereka bertemu bukan di kantor, bukan dalam rapat yang membosankan, tapi di sebuah gigs musik indie di selatan Jakarta, di mana udara dipenuhi asap kretek dan semangat pemberontakan yang sebentar lagi akan luntur oleh cicilan KPR. Genta tidak bekerja untuk Agensi Cipta Asa saat itu, dan Laras baru sebulan di Nalar Gempita. Genta adalah seorang penyair gagal yang menyambung hidup dengan menulis artikel lepas tentang kopi dan senja. Laras adalah seorang gadis dari kota kecil dengan mimpi sebesar Monas.
Malam itu, Genta membacakan puisi tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada kuntilanak penunggu pohon waru. Suaranya serak dan berat, dan kata-katanya tidak indah, tapi jujur sampai ke tulang. Laras, yang berdiri di sudut ruangan sambil memegang gelas bir yang sudah hangat, merasa puisi itu ditujukan untuknya. Bukan karena ia merasa seperti kuntilanak, tapi karena ia merasakan kesepian yang sama seperti si lelaki dalam puisi itu.
Setelah acara selesai, Genta menghampirinya. "Kamu menatapku seperti mau menelanku hidup-hidup," katanya, tanpa basa-basi.
"Puisi tadi jelek," jawab Laras, sama tajamnya. "Tapi aku suka."
Dari sanalah semuanya dimulai. Dari percakapan-percakapan di warung kopi 24 jam, dari perjalanan dengan motor tua Genta membelah malam Jakarta, dari janji-janji yang mereka ucapkan di bawah jembatan layang sementara truk-truk besar menggetarkan bumi di atas mereka. Genta adalah jenis lelaki yang terbuat dari malam dan asap kretek, dari ambisi yang menyala lebih terang dari lampu-lampu jalanan, dan Laras mencintainya justru karena itu, karena kegelapan yang menjanjikan sedikit bahaya yang membuat hidup terasa nyata.
Cinta mereka adalah sebuah benteng kecil yang mereka bangun bersama di tengah-tengah kota yang buas. Di dalam benteng itu, tidak ada klien, tidak ada deadline, tidak ada KPI. Hanya ada mereka berdua, tubuh yang saling memuja, dan mimpi-mimpi yang mereka bagi seperti sebatang rokok.
Lalu, enam bulan kemudian, Genta diterima bekerja di Agensi Cipta Asa. Pesaing utama Nalar Gempita.
"Ini hanya pekerjaan, Sayang," kata Genta saat itu, menangkup wajah Laras. "Di luar gerbang kantor, aku milikmu seutuhnya. Kita tidak akan pernah membiarkan monster-monster itu masuk ke benteng kita. Janji."
Laras percaya padanya. Oh, betapa naifnya ia saat itu. Ia percaya bahwa cinta mereka cukup kuat untuk memasang perisai tak kasat mata di pintu apartemen mereka. Ia percaya bahwa loyalitasnya pada Genta dan loyalitasnya pada pekerjaannya bisa hidup berdampingan seperti dua ekor ikan cupang di dalam satu akuarium tanpa saling membunuh.
Awalnya, janji itu bekerja. Mereka menertawakan persaingan agensi mereka. Mereka bahkan saling mengejek saat salah satu dari mereka memenangkan sebuah proyek kecil. Itu menjadi bumbu penyedap dalam hubungan mereka. Sebuah permainan peran yang mengasyikkan. Laras adalah mata-mata dari Nalar Gempita, dan Genta adalah agen rahasia dari Cipta Asa. Musuh di siang hari, kekasih di malam hari.
Tapi kota ini, Jakarta, adalah monster lapar yang tidak pernah puas. Ia menuntut lebih. Dan persaingan mereka bukan lagi memperebutkan proyek kedai kopi lokal, melainkan tender raksasa dari sebuah perusahaan telekomunikasi multinasional. Proyek yang bisa mengubah nasib sebuah agensi, yang bisa melambungkan nama seorang Account Executive menjadi dewa.
Di sinilah ular itu mulai menetas dari telurnya.
Laras melihat perubahan itu pada Genta. Ia jadi lebih sering diam, matanya lebih sering terpaku pada layar laptop bahkan ketika mereka sedang makan malam. Percakapan mereka tidak lagi tentang puisi atau musik, tapi tentang market share dan engagement rate. Asap kreteknya terasa lebih pekat, lebih pahit. Genta yang penyair itu perlahan-lahan mati, digantikan oleh Genta sang prajurit korporat.
"Kamu tahu, bosku, Pak Tirtayasa, akan membunuhku jika kita kalah dalam tender ini," kata Genta suatu malam. Ia tidak sedang bercanda.
"Bosku juga begitu," sahut Laras. "Bu Ajeng sudah seperti banteng melihat kain merah setiap kali nama Cipta Asa disebut."
Mereka terdiam. Untuk pertama kalinya, benteng mereka terasa rapuh. Dindingnya retak, dan angin dingin dari dunia luar menyelinap masuk. Malam itu, mereka bercinta bukan karena gairah, tapi karena ketakutan. Mereka saling memeluk dengan putus asa, seolah mencoba menyatukan kembali dua keping loyalitas yang mulai terbelah.
Dua minggu sebelum hari presentasi, Laras mendapatkan sebuah ilham. Ide itu datang seperti bisikan gaib saat ia terjebak macet di depan Semanggi. Sebuah ide kampanye yang tidak menjual produk, tapi menjual perasaan. Perasaan terhubung. Ia begitu bersemangat, begitu yakin bahwa inilah kunci kemenangannya.
Malamnya, dengan piyama dan rambut yang masih basah sehabis keramas, ia menceritakan ide brilian itu kepada Genta. Ia menceritakannya dengan seluruh antusiasme dan kepercayaan, seperti seorang anak kecil yang memamerkan gambar buatannya pada ayahnya. Genta mendengarkan dengan saksama, matanya berbinar. Laras mengira binar itu adalah binar kekaguman. Sekarang ia tahu, itu adalah binar keserakahan seekor elang yang melihat kelinci keluar dari sarangnya.
"Itu... brilian, Ras. Sungguh," kata Genta saat itu. Tangannya mengelus rambut Laras. Elusan itu terasa seperti elusan seorang algojo pada korbannya.
Laras, yang dibutakan oleh cinta dan kebanggaan, tidak melihat apa pun. Ia hanya merasa bahagia karena lelaki yang dicintainya mengakui kehebatannya.
Kini, duduk di hadapannya, Genta telah selesai memaparkan 'idenya' yang dicuri. Ia menatap Laras, menunggu reaksi. Mungkin ia berharap Laras akan marah, berteriak, melempar barang. Tapi Laras hanya diam. Kekosongan di dalam dirinya terlalu besar untuk diisi dengan amarah.
"Jadi," Laras akhirnya bersuara, nadanya datar seperti EKG orang mati. "Itu ide dari Nalar Gempita yang kamu bilang bagus sekali?"
Genta terkesiap. Ia seperti pencuri yang tertangkap basah dengan barang curian masih di tangannya. Wajahnya pias. "Ras... aku bisa jelaskan."
"Jelaskan apa, Genta? Jelaskan bagaimana kamu mengambil cerita sebelum tidurku dan menjualnya demi sebuah proyek? Jelaskan bagaimana kamu menusukku dari belakang dengan pisau yang kuletakkan sendiri di tanganmu?"
"Ini bukan seperti itu! Aku... aku mengembangkannya! Aku hanya terinspirasi..."
Laras tertawa. Tawa yang kering dan getir, seperti daun-daun yang remuk di musim kemarau. "Terinspirasi? Kamu bahkan menggunakan frasa yang sama persis. Kamu tahu, Genta, pengkhianat terburuk bukanlah musuh yang menyerang dari depan. Tapi teman yang menepuk punggungmu sementara tangannya yang lain mencari celah di antara tulang belikatmu."
"Laras, tolong... Ini hanya pekerjaan."
Ah, kalimat itu. Kalimat terkutuk yang selalu diucapkan oleh para pengecut untuk membenarkan tindakan mereka. Ini hanya pekerjaan. Seolah-olah pekerjaan adalah sebuah entitas terpisah yang tidak memiliki konsekuensi moral. Seolah-olah loyalitas pada perusahaan bisa menghapus loyalitas pada manusia yang tidur seranjang denganmu.
"Dulu, kamu pernah bilang padaku, benteng kita tidak akan pernah bisa dimasuki monster-monster korporat itu," kata Laras, matanya menatap lurus ke dalam mata Genta, mencari-cari sisa penyair yang pernah ia cintai. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Hanya ada sepasang mata elang yang kebingungan. "Ternyata aku salah, Genta. Monster itu tidak pernah perlu masuk. Karena ia sudah ada di dalam sejak awal. Kamu adalah monsternya."
Laras berdiri. Ia tidak membanting pintu. Ia tidak menangis. Ia hanya berjalan ke lemari, mengambil sebuah tas, dan memasukkan beberapa helai pakaiannya. Setiap gerakannya terasa lambat dan berat, seolah ia sedang berjalan di dalam air.
Genta hanya bisa mematung. "Kamu mau ke mana?"
Laras berhenti di ambang pintu. Ia menoleh untuk terakhir kalinya. Dalam cahaya temaram itu, ia seperti melihat seekor ular berkepala dua merayap keluar dari bawah ranjang. Satu kepala menatapnya dengan kesedihan, kepala yang lain menjulurkan lidahnya yang bercabang, mendesiskan kata 'menang'.
"Aku mau presentasi besok pagi," kata Laras. Suaranya dingin dan tajam. "Aku akan mempresentasikan ide orisinalku. Dan aku akan menghancurkan agensimu. Ini bukan lagi soal pekerjaan, Genta. Sekarang, ini masalah pribadi."
Ia menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Genta sendirian dengan gema kata-katanya, dengan bau pengkhianatan yang menguar di udara, dan dengan keheningan ranjang yang kini terasa terlalu besar untuk satu orang.
Di luar, hujan telah reda, menyisakan Jakarta yang basah dan berkilauan di bawah lampu jalan. Udara terasa bersih, seolah baru saja dicuci dari dosa. Sambil menunggu taksi, Laras menyalakan sebatang rokok. Bukan kretek seperti milik Genta, tapi rokok putih yang ringan. Asapnya terasa hambar. Kemenangan yang menantinya esok hari terasa seperti abu di mulutnya. Ia mungkin akan memenangkan tender itu. Ia mungkin akan menjadi pahlawan di Nalar Gempita. Tapi malam ini, ia telah kehilangan sebuah benteng. Ia telah membunuh seorang penyair. Dan ia sadar, loyalitas yang terbelah tidak bisa disatukan kembali. Ia hanya akan meninggalkan luka menganga, tempat di mana ular-ular pengkhianatan akan selalu menemukan jalan untuk masuk.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun