Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mitos Kopi dan Kematian

5 Juni 2018   17:59 Diperbarui: 6 Juni 2018   19:17 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari lalu, mitos kopi dan kematian itu, kembali menjadi perbincangan, tepatnya sebagai bahan olokan bagi penganut rasionalitas yang bersandar sepenuhnya pada logika empirik. Malam Jum'at, dua hari berselang, saya duduk di sebuah meja bundar di Cafe Red Corner, Makassar, bersama beberapa orang teman.  Kami berdiskusi tentang perkembangan politik mutakhir Sulawesi Selatan. Saya disuguhi flate white, menu terbaru cafe itu. Setelah saya hirup sampai tiga kali, saya kemudian mencampurkannya dengan sisa kopi saya sebelumnya, mengaduknya perlahan-lahan dan  mendiamkannya beberapa saat lamanya, hingga panasnya mencapai hangat-hangat kuku.  

Tak lama kemudian, "prakkk.......!" Cangkir kopi saya tiba-tiba meledak, pecah berantakan. Semua terkaget, diam terpana. Saya, tentu saja tersentak mengalami cangkir kopi tiba-tiba meledak. Begitu pula pemilik cafe yang duduk di samping saya, tidak bisa sembunyikan kekagetannya, meskipun buru-buru membereskan pecahan cangkir itu. Saya membaca dengan jelas kecamuk pikiran di wajah teman-teman. Saya begitu yakin kalau mereka sebenarnya terpengaruh oleh mitos yang terkait dengan kopi. Seorang teman kemudian berseloroh, "beruntung pertahananmu cukup baik. Bayangkan kalau itu meledak di perut."  

"Ah, tidak usah dibawa ke dunia mistik. Karena itu bisa dijelaskan dengan hukum fisika biasa." Potong seorang teman yang pakai kaca mata plus minus. Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu eksakta, saya mengerti hukum fisika mana yang dimaksud. Yaitu, teori pemuaian zat padat. Tetapi seorang teman lain, dosen senior dari UNHAS Makassar, membantahnya, bahwa pecahnya cangkir itu memang bisa didekati dengan teori pemuaian. Tetapi kondisi yang diperlukan bagi berlakunya hukum fisika itu tidak terpenuhi.

"Cangkir itu bisa pecah seketika pada saat dituangi air mendidih. Hal itu terjadi karena cangkir yang bersuhu rendah, tiba-tiba mengalami perubahan suhu panas yang sangat ekstrim, lalu diikuti proses pemuaian yang juga terjadi secara tiba-tiba. Tetapi faktanya, pecah terjadi, tidak pada saat suhu cangkir mencapai panas tertinggi. Namun terjadi pada saat sebaliknya. Yaitu, pada saat suhu cangkir dan isinya, sudah dalam keadaan adem, hangat-hangat kuku."

Teman yang berkaca mata itu tak mau kalah. "Sebenarnya, penjelasan yang paling logis adalah bahwa cangkir itu pada dasarnya memang sudah ringkih dan rentan pecah oleh perubahan suhu yang sedikit ekstrim. Ketika panas mencapai maksimum dan melampaui batas pemuaian maksimum, di titik itulah seharusnya cangkir itu pecah. Tetapi tidak. Pecahnya terjadi pada saat suhu panas pada cangkir itu sudah jauh menurun, sehingga pecahnya disebabkan oleh penyusutan."

"Penjelasan itu juga kurang tepat." Timpal Pak Dosen. "Perubahan panas yang ekstrim terjadi pada cangkir saat kopi dituangkan ke dalamnya. Hal itu membuat suhu cangkir, tiba-tiba menjadi panas dan memuai. Namun, setelah mencapai panas tertinggi, perlahan-perlahan menjadi dingin dan menyusut secara gradual. Tetapi, sepanjang temperatur berubah secara gradual, maka penyusutan tidak membuat  cangkir itu pecah secara tiba-tiba. Dengan demikian, meledaknya cangkir itu, jelas bukan karena pemuaian, juga, bukan karena penyusutan. Itu yang saya maksud tidak memenuhi syarat bagi bekerjanya hukum fisika." Jelasnya.

Namun, perdebatannya tidak berhenti sampai di situ. Peristiwa cangkir kopi itu meledak, akhirnya sampai juga di telinga teman-teman penganut spiritualisme. Pada malam berikutnya, kami kembali bertemu di Red Corner. Jelang tengah malam, datang beberapa orang sahabat  spiritualis. Salah seorang dari mereka lansung duduk di dekatku. Setelah pesan kopi, saya pun "dikerja" olehnya. Sementara saya dikerja, lagi-lagi gelas tempat gula cair saya pecah. Sebabnya, jatuh kena senggol.

Mau tak mau, saya mesti bertanya-tanya, mengapa punya saya lagi yang pecah? Kebetulan apa ini? Bayangkan, dua malam berturut-turut, malam Jum'at dan malam Sabtu,  saya mengalami cangkir dan gelas pecah, dan keduanya terkait langsung dengan minuman yang bernama kopi. Tetapi, bagi teman-teman rasionalis, itu hanyalah kejadian biasa. Gelas saya kena senggol, jatuh lalu pecah. Berbeda dengan teman-teman rasionalis, teman-teman spiritualis yang hadir di sana, melihatnya dengan perspektif lain. Menurut mereka, peristiwa itu bukan tidak punya makna. Tetapi itu sebuah pertanda bahwa saya mendapat "serangan".

Mendengar kata serangan disebut, saya langsung paham, apa yang mereka maksud. Saya pun membiarkan sahabat-sahabat itu "bekerja", memeriksa dan memperbaiki "pagar dan pertahanan diri" saya, agar dapat menangkal setiap serangan. Di dunia mistik, pertempuran pun kerap terjadi dalam bentuk perang mantra, guna-guna, dan teluh dengan menggunakan berbagai media. Yang paling umum adalah melalui secangkir kopi.  Pada tradisi Kajang dan Mandar, terkenal  ilmu mistik yang disebut "doti" dalam wujud api terbang. Kalau tak bisa ditangkal, ilmu ini dipercaya dapat menyebabkan sakit dan kematian.

Pertanyaannya, apa pentingnya saya diserang? Sahabat-sahabat penganut spiritualis mengaitkannya dengan Pilkada Sulsel yang sudah memasuki tahap yang paling menegangkan. Dalam situasi ini, hampir dipastikan semua Paslon menggunakan segala cara untuk menang. Termasuk melibatkan dunia mistik. Pada konteks ini, menurut sahabat-sahabat itu, saya dilihat oleh pihak lawan sebagai salah satu sosok yang berada di barisan paling depan dari salah satu Paslon yang berpotensi paling besar memenangkan pilkada. Itulah sebabnya, saya pun mendapat serangan sebagai sasaran antara sebelum serangan itu ditujukan langsung kepada target utama, paslon.

Oh, malam yang tak pernah diam terus beranjak mendekati sahur, membubarkan kami. Dalam perjalanan pulang, saya membatin. "Setiap kita berada di muka bumi ini karena suatu misi. Tentu kita tak diizinkan pulang, sebelum misi itu usai tuntas. "

Makassar, 040618

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun