Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunisme dan Islamisme

8 Agustus 2017   11:06 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:41 2075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali mengambil sedikit bagian dari Tafsir Al-Mishbah, Sayyid Quthub berpendapat bahwa kehati-hatian dan upaya terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak---sebelum memutuskan---itulah ajakan al-Qur'an serta metode yang sangat teliti dari ajaran Islam. Apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini, tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan dan perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan interaksi, tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam bidang penelitian, eksperimen, dan ilmu pengetahuan. Amnah 'ilmiyah yang didengungkan di abad modern ini tidak lain kecuali sebagian dari Amnah aqliyah dan qabliyah yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kerja pendengaran, penglihatan, dan hatinya, serta bertanggung jawab kepada Allah.

Provokasi untuk memecah belah umat banyak dilakukan dalam beberapa tahun ini. Salah satunya ialah komentar Achmad Michdan, kuasa hukum HTI, kepada Gatra yang menyebutkan bahwa langkah tiba-tiba pemerintah saat ini dalam membubarkan ormas (HTI) justru akan menjauhkan hubungan pemerintah dan Islam. Ia melanjutkan, "Terbaca bahwa pemerintah sekarang tidak bepihak pada gerakan-gerakan umat Islam. Mereka lupa, karena Islam, negara ini bisa merdeka, melakukan perlawanan kepada kolonial." Dalam menanggapi hal semacam ini, kita pantas prihatin. Sangat terlihat bahwa yang memecah umat Islam adalah oknum umat Islam sendiri dengan mengatasnamakan agama. Komentar itu cukup janggal, karena ormas-ormas Islam yang sebenarnya berjuang melawan penjajah pada saat itu tidak ribut, antara lain: NU dan Muhammadiyah. Hizbut Tahrir (HT) belum dilahirkan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, mereka baru lahir pada tahun 1953 di Palestina. Kemudian pada tahun 1980-an, doktrin HT barulah masuk ke Indonesia, lalu pada tahun 2000, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) akhirnya memproklamasikan diri, menurut Majalah Tempo edisi 15-21 Mei 2017. Kita harus cerdas dalam mengolah informasi yang datang kepada kita agar tidak keliru dalam berpendapat.

Hal itu juga diperkuat oleh buku yang berjudul "Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara" karya Buya Syafii Maarif. Nama Hizbut Tahrir (HT) sama sekali tidak disebutkan di dalam buku yang terbit pertama kali pada 1985 itu. Padahal buku tersebut menjelaskan tentang perkembangan politik Islam di Indonesia dari pra kemerdekaan hingga keluarnya dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Organisasi Islam yang disebutkan, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al-Irsyad, Sarekat Islam (SI), Masyumi, hingga JIB (Jong Islamiten Bond, Ikatan Pemuda Islam). Di dalam buku yang ditulis dari hasil disertasinya, Buya Syafii Maarif berkesimpulan bahwa al-Qur'an maupun ajaran Nabi Muhammad tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam, asal prinsip syr dijalankan dan dihormati sepenuhnya. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk "khilafah dan immah" oleh para yuris, seperti al-Baqillani dan al-Mawardi pada abad pertengahan tidak lebih dari sekadar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengatakan bahwa Qatar membantu beberapa kelompok teroris dan sektarian yang bertujuan mengganggu stabilitas di kawasan ini (Jazirah Arab), termasuk Al-Ikhwan al-Muslimun, ISIS, dan Al-Qaeda, serta mempromosikan pesan dan skema kelompok-kelompok itu melalui media mereka secara terus-menerus. Pemerintah Qatar menyesalkan langkah terkoordinasi yang diambil Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Qatar sendiri telah membantah mendukung ISIS dan Al-Qaeda serta menyebut keputusan itu tak bisa dibenarkan dan tidak didasarkan fakta-fakta.

Direktur Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, Muhammad Luthfi Zuhdi berpendapat, "Konflik kali ini bukan soal 'Sunni-Syiah' semata, ada faktor X, yaitu politik dan ekonomi. Faktor politik di sini karena beberapa tahun belakangan Qatar lebih dekat dengan Iran. Sementara untuk faktor ekonomi, ini soal kerja sama eksplorasi gas besar-besaran antara Qatar dan Iran. Dikabarkan, (ladang gas) itu seluas satu triliun kubik. Tentu saja negara-negara Arab tersinggung karena Qatar lebih memilih Iran yang merupakan musuh besar mereka." Kisruh di Timur Tengah ini membangkitkan ingatan soal pertikaian pada 2014. Saat itu, Qatar dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin dan mencampuri urusan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), seperti yang ditulis dalam Majalah Sindo Weekly edisi 12-18 Juni 2017.

Mengutip dari Majalah Gatra edisi 15-21 Juni 2017, Arab saudi menyatakan sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar blokade ekonomi dicabut, yaitu berhenti mendukung Iran, Hamas, dan Ikhwanul Muslimin. Namun Qatar tetap melawan. Mungkinkah Arab Saudi menginvasi Qatar? Kemungkinannya sangat kecil. Sejauh ini belum ada satu pengamat pun yang memprediksi Arab Saudi akan mengambil opsi itu. Pasalnya, Amerika Serikat memiliki pangkalan militer di Qatar, dengan pasukan mencapai hampir 10.000 tentara. Selain AS, Turki juga sedang membangun pangkalan militer di Qatar. Pangkalan militer Turki itu merupakan bagian dari perjanjian militer Qatar-Turki yang ditandatangani pada 2014. Parlemen Turki menyetujui pengiriman pasukan ke Qatar, sebanyak 3000 tentara akan segera diberangkatkan.


Konflik di Timur Tengah memicu seorang ustadz berpendapat bahwa ISIS hanyalah sekadar nama, dulunya Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Lalu ia juga menuturkan bahwa munculnya Al-Qaeda tidak jauh dari yang disebut dengan Ikhwanul Muslimin. Namun sebaiknya kita tidaklah menyamakan beberapa golongan tersebut secara sama rata, seperti halnya seorang "Salafi" yang tidak mau disamakan dengan Wahabi. Untuk itu, mari kita simak penjelasan Sofyan Tsauri, seorang mantan polisi dan mantan teroris, pada acara ILC dengan tema "ISIS Sudah di Kampung Melayu". Ia menyampaikan, "Sebetulnya ketika kita melihat fenomena global saat ini, gerakan jihad itu terbagi menjadi dua. Pertama, pro kepada Al-Qaeda. Yang kedua, pro kepada ISIS. Kita bisa baca buku Abu Musab as-Suri tentang pergerakan kontemporer yang mengingatkan tentang 'bahaya takfiri'. Jadi sebetulnya yang dirugikan bukan cuma aparat keamanan Barat, tapi dari kelompok Jihadis sendiri juga dirugikan dengan kelompok ISIS ini. Bahkan Syaikh Jaulani, salah satu Amir Jabhah Nushrah, mengatakan bahwa 800 anggota Al-Qaeda di Suriah itu terbunuh oleh ISIS. Jadi kalau kita melihat akar dari pemikiran ISIS hari ini, itu banyak dikutip dari fatwa-fatwa Abdul Wahhab generasi ke-2. Berawal dari pemikiran takfiri, lalu terjadilah pengkafiran berantai. Maka tidak heran jika kemudian Taliban dan Al-Qaeda juga dikafirkan oleh kelompok-kelompok ini (ISIS). Ini yang saya katakan bahwa pemikiran tersebut sangat berbahaya."

Berdasarkan buku "Khazanah Aswaja" yang disusun oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, secara terminologis, radikalisme agama berarti perilaku keagamaan yang menyalahi Syariat, mengambil karakter keras sekali antara dua pihak yang bertikai, bertujuan merealisasikan target-target tertentu atau mengubah situasi sosial tertentu dengan cara yang menyalahi aturan agama. Radikalisme agama, sebagai fenomena, merupakan semacam kegelisahan berlebih-lebihan yang dialami seseorang. Hal itu adakalanya karena pikiran yang hampa, dan adakalanya karena pandangan pesimis sebagai akibat ketidaktahuan pada hukum-hukum agama. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama. Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena berlebih-lebihan dalam agama."

Untuk memperkaya wawasan perkembangan sejarah Islam kita, mari mengutip paparan buku "Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban" karya Fazlur Rahman: Al-Qur'an pada dasarnya merupakan dokumen etik dan keagamaan yang tujuan praktisnya adalah membangun masyarakat yang adil dan beradab, yang bertaqwa kepada Tuhan, yang memerintahkan kebajikan dan melarang kemungkaran. Walhasil tidak banyak teori murni. Yang paling mungkin mendekati spekulasi adalah seruan al-Qur'an untuk merenungkan keluasan dan keteraturan alam semesta, tetapi ini pun bukan untuk membuktikan eksistensi-teoritis Tuhan, melainkan untuk menggambarkan keagungan dan keindahan-Nya. Penekanannya adalah pada "iman dalam tindakan". Di situ ada faktor serta tegangan moral dan psikologis. Keangkuhan manusia ditundukkan oleh keagungan dan kekuasaan Tuhan. Tetapi yang enggan bertindak dan hanya mengandalkan kekuasaan Tuhan juga dikecam, sambil menegaskan kebebasan dan tanggung jawab utama manusia.

Meneruskan buku yang diterbitkan pertama kali pada 1966 itu: Sikap lugas nan praktis yang ditanamkan al-Qur'an dan Nabi Muhammad mulai menjadi soal akibat pergolakan pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali. Namun, ketika pada masa Umayyah kesatuan agama dan negara terkoyak, ia memicu perenungan mendalam di mana-mana. Bani Umayyah yang sadar betul bahwa yang mempersatukan dan membesarkan bangsa Arab adalah Islam, tetap mempertahankan bentuk kekhilafahan dan agama sebagai dasar negara serta menetapkan Syariah sebagai konstitusinya. Tetapi selain peraturan pemerintahan mereka tidak betul-betul didasarkan pada Syariah, mereka juga memperalat negara demi kekuasaan pribadi. Keseharian mereka memang tidak sepenuhnya tak islami, tetapi jelas jauh dari gambaran ideal empat khalifah awal serta dari harapan dan tuntutan para ulama.

Sekte Khawarij ('yang keluar') menganggap pelaku dosa besar sudah bukan Muslim lagi dan mereka melancarkan jihad (perang suci) terhadap penguasa dan umat secara umum atas idealisme ekstrim yang bercampur dengan fanatisme buta. "Keputusan (kekuasaan) hanya milik Allah" adalah semboyan kelompok yang berbasis di Irak dan Persia ini. Sebagian besar ulama di Madinah juga kecewa dengan penguasa Umayyah, namun fatwa-fatwa mereka, karena ketidakberdayaan mereka, perlahan tunduk pada rezim Umayyah dan menyatakan bahwa iman saja cukup bagi seseorang untuk dapat disebut Muslim tanpa harus melihat amal perbuatan. "Keputusan (kekuasaan) hanya milik Allah" bagi mereka berarti bahwa kekuasaan politik yang merupakan Kehendak Allah tidak boleh ditentang. Kelompok ini, yang disebut Murji'ah (yang 'menunda' menilai orang sampai Hari Akhir), mengimbau agar tidak menghakimi pelaku dosa besar yang nasibnya akan ditentukan Allah kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun