Kisah Inspiratif 2
Oleh: Yanti Rahmayanti, S.Pd
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) merupakan gangguan dalam perkembangan saraf sehingga menyebabkan kesulitan fokus (inatensi), perilaku yang impulsive dan aktivitas yang berlebihan (hiperaktivitas). Sebagian orang menganggap ADHD dan autisme itu sama. ADHD ditandai oleh kesulitan dalam perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Sedangkan autisme lebih berfokus pada tantangan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku berulang.
Sebuah kasus yang menimpa seorang remaja, sebut saja Handi, dapat dikategorikan dalam penderita ADHD. Sepintas penampakan Handi tidak ada yang mencolok. Remaja berperawakan tinggi dengan kulit kuning langsat ini tampak sangat mudah bergaul dengan teman-teman sebayanya, terutama perempuan. Namun jika diselidiki lebih dekat, ada banyak perilaku yang kurang relevan untuk anak seusia dia. Handi masih suka merengek saat menginginkan sesuatu, menangis jika kesal, tantrum saat suasana hati tidak bagus, bahkan tidur saat belajar padahal masih jam pertama. Fokus dia pada sebagian besar pelajaran sangat minim. Terlebih tulisan dia yang membuat cenat cenut kepala para guru saat harus mengecek pekerjaannya.
Namun anehnya, sisi lain Handi menunjukkan keadaan yang kontras. Rasa percaya dirinya cukup tinggi. Terbukti saat guru menyuruhnya presentasi dialog, maka dialah siswa pertama yang mengajukan diri untuk tampil ke depan. Di samping itu, pengetahuan umumnya patut diapresiasi. Beberapa pertanyaan tentang lagu nasional, masalah politik, solusi permasalahan narkoba, letak geografis negara dan yang lainnya dilalap habis oleh remaja polos ini. Ya, Handi memang polos dan pemaaf, itu kelebihan lain dari dirinya yang layak diacungi jempol. Saat dia menangis sambil melaporkan teman yang membuli, akan dengan mudah memaafkan tanpa dendam jika anak tersebut mau mengulurkan tangan dan mengakui kesalahannya.
Handi terlahir dari keluarga lengkap yang menghujaninya dengan penuh kasih sayang. Masa kecilnya terlihat normal seperti balita pada umumnya. Hingga suatu waktu, saat menginjak usia 2,5 tahun Handi mengalami kejang-kejang, berulang sampai 3 kali dalam sehari. Dokter mendiagnosa bahwa balita ini terserang tipes dan meminta orang tuanya agar Handi dirawat. Dalam kurun waktu seminggu balita ini terkapar tak berdaya di atas pembaringan di rumah sakit.
Sejak hari itu, kondisi Handi ternyata tidak baik-baik saja. Tibalah saat usia 3 tahunan, kedua orang tua Handi menyadari  ternyata anak sulungnya mengalami keterlambatan bicara. Dari sanalah mereka memutuskan untuk konsul dengan seorang psikolog yang berlokasi di kota yang sama dengan tempat tinggalnya. Hasil asesmen menunjukkan bahwa Handi mengalami ADHD.
Kenyataan yang cukup pahit memukul hingga ulu hati kedua orang tua Handi. Betapa menyesakkan. Anak pertama, laki-laki pula, yang digadang-gadang suatu saat kelak akan menjadi tangan kanan mereka ternyata menunjukkan kenyataan yang jauh dari harapan. Namun hal ini harus  mereka hadapi. Jagoannya harus sehat tidak hanya fisik tapi juga mentalnya. Dengan tekad bulat, mereka memutuskan untuk melakukan terapi. Usaha ini berlangsung sekitar 2 tahun lamanya. Selama itulah, Handi kecil yang cukup aktif ini mulai memperlihatkan perkembangan dalam cara berkomunikasinya. Betapa lega hati kedua orang tuanya saat satu masalah terpecahkan. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak lagi melakukan terapi. Padahal fakta di lapangan menunjukkan bahwa Handi masih mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan.  Bahkan dia sempat beberapa kali pindah sekolah akibat kesulitannya beradaptasi. Akhirnya, di sebuah TK favorit di kampung halamannya  Handi menemukan kenyamanan yang dicari. Di sekolah pilihan terakhir inilah dia dapat menamatkan pendidikan TK.
Menyadari Handi istimewa, orang tuanya memutuskan untuk memberikan sang putra seorang pendamping selama masa pendidikan di SD. Maksud utamanya tentu saja ingin memantau perkembangan putra tercinta selama di sekolah. Sedikit demi sedikit Handi dapat diarahkan untuk bisa mandiri. Memang tidak semudah mengajari anak lain seusianya. Perlu mengingatkan Handi berulang kali untuk sebuah perintah atau aturan agar mau dilaksanakan. Namun mereka tidak menyerah begitu saja. Secara mental, Handi memang berada di bawah teman-temannya. Handi yang mudah tantrum, dengan emosi yang labil dan kadang meledak-ledak sering kali membuat orang lain panik. Di balik semua kekurangannya, Handi ternyata mampu mengejar siswa yang lain. Kemampuan membaca sudah dikuasainya sejak awal masuk SD. Hal yang lebih membanggakan, hobinya menjelajah dunia melalui peta atau berbagai informasi dari berbagai media membuatnya mengetahui banyak nama negara, politik, sosial dan budaya.Â
Masa SD telah berlalu. Handi kini tumbuh menjadi seorang remaja berwajah tampan dengan tinggi yang proporsional. Sayangnya, perubahan emosi masih belum menunjukkan banyak perubahan. Hal ini tampak saat dia harus berbaur dengan teman-teman di SMP dan belajar bersama guru-guru barunya dengan mata pelajaran yang berbeda pula. Handi seperti mengalami culture shock. Pengamatan beberapa guru mengungkapkan kalau dia sering tertidur di kelas meskipun masih jam pertama. Kadang juga tantrum saat guru mengingatkan dia agar fokus mengikuti pembelajaran. Bahkan merusak alat-alat tulis karena tidak mau mengerjakan tugas. Otomatis banyak materi pelajaran yang tidak bisa diikuti dengan baik. Keadaan Handi yang berbeda ini acapkali menjadi objek teman-teman untuk mempermainkan emosinya. Padahal telah berulang kali para guru ataupun BK menjelaskan tentang arti saling menghargai antar teman dan melarang pembulian.