KISAH INSPIRATIF - BAGIAN 1
Oleh: Yanti Rahmayanti, S.Pd
Hadirnya buah hati dalam pernikahan adalah impian sebagian besar pasangan yang diharapkan akan melengkapi kebahagiaan dalam rumah tangga mereka. Dalam perjalanannya, liku-liku untuk sampai ke sana tidaklah selalu sama. Sebagian pasangan menemukan jalan yang dilaluinya begitu mudah tanpa liku yang berarti. Sebagian yang lain mengalami hal sebaliknya, penuh perjuangan dan perlu kesabaran.
Jerit tangis bayi mungil yang dinanti terdengar memenuhi setiap sudut ruangan. Namun, setelah hari itu permasalahan baru pun akan muncul. Bagaimana mengasuh dan mendidik sang generasi penerus ini agar menjadi manusia tangguh? Ayah ibu harus bekerja sama untuk menciptakan insan yang berkualitas tentunya.
Hal yang tidak terlalu rumit jika sang buah hati terlahir dalam kondisi normal, baik secara fisik atau mental. Orang tua akan mudah mengarahkan anak-anaknya tentang berbagai aturan atau kegiatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kesehariaan mereka. Dengan memberi contoh, anak akan meniru apa yang dilakukan kedua orang tuanya secara spontan. Di sinilah perlunya kehati-hatian para orang tua untuk memberi tauladan yang baik sehingga anak-anak akan tumbuh baik pula. Mendidik mereka dengan dasar agama yang kuat akan membentuk karakter religius. Mendidik mereka dengan penuh kasih sayang akan menjadikannya pribadi yang lembut. Namun jika mendidik mereka  dengan kasar maka akan menumbuhkan pribadi yang kejam. Intinya, anak akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan apa yang ditanamkan kedua orang tuanya sejak dini.
Akan muncul sebuah dilema jika para orang tua mendapati kenyataan bahwa buah hatinya terlahir dengan kondisi fisik atau mental di luar harapan. Beberapa kasus yang menimpa orang tua siswa di SMPN 4 Kuningan menunjukkan kenyataan bahwa anak mereka tak sama dengan yang lain. Salah satu di antaranya adalah Safira Salsabila Adzikra. Dia adalah seorang gadis manis yang kini duduk di kelas 7 yang mengalami gangguan dengar sangat berat sejak lahir, sekitar 90 desibel untuk telinga kanan  dan 100 desibel untuk telinga kiri. Ini berarti hanya 10% saja pendengaran yang dimilikinya kala itu. Suara yang dapat masuk ke gendang telinganya hanya berasal dari sumber bunyi yang memiliki getaran tinggi, seperti: drum set, pesawat, vacuum dan sejenisnya. Suara lain tidak bisa teridentifikasi. Dunia sunyi senyap baginya. Tak ada sapaan yang direspon. Tak ada lirik lagu yang dapat dinikmati. Pun tak ada kebisingan yang mengganggu. Otomatis, tak ada kata yang mampu terlontar dari bibir mungilnya. Kalaupun ada kata yang terucap "Mama...Papa...", itu hanya sekedar bubbling yang tak dipahami apa artinya. Â
Kenyataan ini tentu menjadi tamparan terbesar bagi kedua orang tua Safira. Duka menganga di hati mereka. Dunia seakan runtuh saat menyadari kondisi putri bungsunya ini. Tak rela gadis kecilnya hanya diam membisu sepanjang hidupnya menggerakkan mereka untuk melakukan berbagai alternatif pengobatan. Apapun itu. Mulai dari pengobatan tradisional, alternatif sampai medis. Berapa pun jumlah rupiah yang harus dikuras, ratusan ribu sampai ratusan juta. Sepanjang apapun langkah yang harus ditempuh, dari rumah sakit di kampung halaman sendiri hingga ke kota lain.
Dari sinilah kisah perjuangan kedua orang tua Safira dimulai. Kisah di mana kata menyerah tak ada dalam kamus hidup mereka, terutama sang ibu. Lelah tak jadi penghambat, bosan tak pernah terbersit. Semua sumbang saran pengobatan yang mereka dengar dari orang-orang terdekat dicoba satu persatu. Namun tak ada hasil. Kecewa dengan pengobatan tradisional dan alternatif, mereka berputar haluan ke pengobatan secara medis. Pertemuan mereka dengan dokter spesialis THT yakni dr. Yongki, Sp.THT-KL., yang kala itu berpraktek di Apotek Anisa Kuningan, menjadi jalan pembuka untuk langkah selanjutnya. Atas rekomendasi beliaulah, Â Safira dirujuk ke Kasoem Hearing Center Bandung.
Mengetahui ketidakmampuan Safira dalam mendengar setelah melakukan berbagai observasi, tim medis Kasoem Hearing Center Bandung memutuskan untuk memakaikan gadis kecil ini sebuah ABD (Alat Bantu Dengar). Penggunaan alat ini berlangsung sekitar 6 bulan lamanya. Namun hasil observasi dalam kurun waktu selama itu tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Safira masih tak mampu merespon panggilan yang masuk. Diketahui bahwa kemampuan mendengarnya hanya setara dengan bayi usia 3 bulan. Sampai akhirnya saat Safira berusia 3,5 tahun tim dokter di Rumah Sakit Santosa Bandung melakukan operasi cochlear implant (implan koklea) di belakang telinga kanannya. Operasi ini dilakukan tentunya setelah melewati berbagai prosedur pemeriksaan, meliputi pemeriksaan BERA, ASSR, MRI, CT Scan dan juga vaksin di beberapa rumah sakit yang berbeda. BERA dilakukan di Kasoem  Hearing Center Bandung. Sedangkan ASSR berpindah tempat ke RS Limijati, masih di wilayah Bandung.