Â
       Cinta bagi ibuku adalah hal yang tidak harus terdefinisi dengan lisan. Cukup aku merangkum semua yang telah menjelma menjadi diriku sekarang. Inilah wujudku, sosok yang telah dibaluri cinta sepanjang hidupnya tanpa harus mengukir kata sepanjang waktu. Tapi wujud cinta itu nyata begitu dalam sehingga aku tiada mampu mengukurnya.
       Ada belaian yang menenangkan saat sakitku, resahku bahkan bahagiaku. Ada semangat yang dinyalakan saat sedihku, titik terendahku. Ada senyum dan tawa saat berbagi cerita. Ada marah saat khilafku. Ada tangis saat sedihku. Ada teman saat sepiku. Ada lawan saat kompetisiku. Dialah ibuku menjadi apa yang aku mau. Tak pernah aku merasa sendiri, karena dia ada di hatiku.
       Ibu mengajariku tentang mencintai diriku sendiri. Dia membuatku tegak berjalan tanpa merasa patah justru di saat aku benar-benar patah. Dihidupkannya kembali nyawaku yang telah terurai terpecah-pecah. Ditanamkannya bahwa aku adalah milikku, yakin dengan diriku sendiri. Memantik api dari dalam jiwa ini sampai kobarnya tiada mati. Aku bangkit dan kembali berdiri.
       Ibu menyiratkan cinta tentang berbagi. Betapa hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Ada sisi lain yang tak dapat terelakkan. Menjadi tegak dan menegakkan adalah dua hal tak terpisah. Berkorban juga menjadi nilai yang tak terhingga. Kerelaan adalah hal utama. Menjadi tiang penyokong adalah sebuah kebahagiaan. Menciptakan kebahagiaan adalah kebahagiaan sejati.
       Hidup juga bukan tentang hari ini. Itu juga adalah wujud cinta ibu untukku. Kemarin adalah cermin yang hanya mampu kutatap dan tak akan terulang. Berkaca akan mengingatkanku tentang apa kurang dan lebihku. Lebih tak harus menjadi tinggi hati. Sebaliknya kurang, aku harus siap memperbaiki. Tak harus terpaku dengan bayang-bayang kelam karena kakiku akan sulit melangkah. Cukuplah yang sudah berlalu. Lembaran itu hanya jadi cambuk untuk esokku. Hari esok harus kutata, kurencana agar tiada sesal di hari nanti. Investasiku adalah hari ini untuk esok hari yang lebih gemilang.
       Mengingatkanku akan Sang Illahi adalah kalimat yang tak pernah lelah ibu ingatkan. Membasuh wajah dengan air wudhu, bersujud dan berdo'a menjadi realisasi cinta sejati. Cinta bukan  hanya tentang alam fana, tapi juga cinta tentang alam keabadian.
       Cinta ibu tak terbatas waktu. Cintanya dulu, cintanya sekarang tetaplah sama. Aku tetaplah anaknya di saat ada anak-anak bersamaku kini. Do'anya selalu mengiringiku. Peluk hangatnya tetap menenangkanku. Walau sering aku abai, melupakannya di sebagian waktuku. Tak bisa aku selalu ada di dekatnya setiap saat. Diri ini telah terbagi karena ibu telah mengajarkanku untuk berbagi.
Baca juga: Lebaran Berlalu, Saatnya Benahi Diri"Ibu, semoga engkau tak merasa tersisih karena cintaku ternyata tak sebesar cinta yang engkau beri. Ibu, kini aku juga mengerti bagaimana mencintai itu tanpa batas. Karena aku adalah juga seorang ibu dari anak-anakku."
Salam sejuta cinta untukmu, ibu. (YR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI