Cerpen Remaja - Penulis: Yanti thea
"Byurrr ..."
      Sebuah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa dilempar ke sungai. Seorang anak lelaki memandanginya dengan napas terengah.
      "Ah! Orang-orang benar, aku jelek, hitam, pincang lagi. Tidak ada yang pantas aku banggakan. Hu ... hu ... hu ..." Remaja tanggung berkulit gelap itu merutuki diri dengan derai membasahi pipinya. Kembali diambilnya batu lain yang lebih besar dan ...
      "Hup!"
      Belum sempat batu itu dilemparkan ke sungai, seseorang menahan pergelangan tangannya dari belakang. Dia terkejut. Serta merta tubuhnya berbalik. Sesosok lelaki tua tengah berdiri sambil tersenyum.
      "Kakek," serunya dengan mulut sedikit terbuka.
      "Ada apa, Jang? Sepertinya di sini agak sedikit mendung ya ..." ujar Kakek Asmawi sambil memegang bahu cucunya dengan erat.
      "Tak ada apa-apa, Kek. Ujang cuma kesal saja."
      "Apa yang kamu kesalkan, cucuku? Coba cerita sama kakek," ucap kakek  penasaran. "Sini, duduk di samping kakek."
      "Kek, kenapa Ujang terlahir hitam, pesek, pendek dan juga pincang? Tidak seperti teman-teman main Ujang; tampan, tinggi, cantik dan mancung. Dan yang jelas mereka tidak pincang begini," keluh Ujang sembari memperlihatkan kedua kakinya yang tak sama panjang. "Tahu enggak Kek, kebanyakan dari mereka memanggilku Si Pincang."
      Ada tetes bening di sudut netra Ujang saat bicara. Ujang mencoba bertahan, namun tak dapat membendungnya. Tetes itu akhirnya tumpah.
      "Jang, dengarkan kakek baik-baik ya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Tampan atau tidak tampan, cantik atau tidak cantik semua sama di mata Tuhan."
      "Kasih sayang bagaimana, Kek? Dengan membiarkan Ujang dihina orang-orang?!"
      "Itu namanya ujian, Jang. Tuhan ingin tahu kamu itu sabar tidak."
      "Tapi Kek, Ujang tidak tahan hidup terus menerus dilecehkan orang. Ujang juga ingin dipuji, disanjung seperti yang lain."
       Kakek Asmawi tercekat. Dia dapat merasakan kepedihan cucu satu-satunya itu. Tujuh tahun menjadi ayah, ibu sekaligus kakek bagi anak remaja ini membuatnya begitu paham dengan penderitaannya. Tidak  mudah membesarkan anak disabilitas seperti Ujang ini. Kecelakaan maut telah memisahkan Ujang dengan kedua orang tuanya di usia dini. Meskipun Ujang selamat, namun cacat permanen pada kaki dan wajah membuatnya tak indah untuk dipandang. Kehidupan Kakek Asmawi yang jauh dari berkecukupan tak mampu memulihkan fisik Ujang menjadi lebih baik. Namun satu tekadnya, menempa sang cucu menjadi manusia tangguh.
      "Sudahlah Jang, tidak usah kamu dengarkan omongan orang. Biarkan saja. Kamu tahu, menghina fisik orang lain sama saja dengan merendahkan Tuhan," hibur Kakek Asmawi sambil mengelus-elus punggung basah di sampingnya. "Hmm, begini saja, kamu mau enggak Kakek ajak jalan-jalan?"
      "Kakek, kenapa sih mengalihkan pembicaraan? Aku tuh lagi kesel, Kek," ujar Ujang dengan bibir mengerucut.
      "Kakek tidak mengalihkan topik, Jang. Justru Kakek ingin membuatmu banyak bersyukur."
      "Maksud Kakek?"
      "Hmm... kita lihat saja nanti ya, Jang."
      Kakek Asmawi sengaja menggantung kalimatnya, membuat remaja tanggung itu penasaran. Akhirnya dia hanya bisa mengangguk pasrah.
***
      Matahari masih menunjukkan keangkuhannya di atas langit sore itu. Namun cahayanya sudah tak begitu menyengat. Sesuai janjinya, Kakek Asmawi membawa Ujang ke sebuah tempat. Di sinilah mereka kini berada. Sebuah panti bertuliskan "PANTI ASUHAN DISABILITAS BINA BANGSA".
      "Untuk apa kita ke sini, Kek?" tanya Ujang tak dapat menahan rasa penasarannya. Tangan kirinya memegang pergelangan tangan sang kakek dengan erat, seolah enggan terlepas.
      "Yuk, kita dekati anak-anak yang sedang bermain itu." Bukannya menjawab, Kakek Asmawi terus berjalan mendekati kerumunan anak-anak panti yang sedang bermain. Dengan terpaksa Ujang terus mengekor di belakangnya.
      Tiba-tiba...
      "Dug!"
      Sesuatu menghantam tubuh Ujang dari samping.
      "Aww!" teriak Ujang tertahan.
      "Oh, maaf Kak, aku gak sengaja," ujar seorang anak lelaki sebaya Ujang. Rupanya dia yang nyaris membuat Ujang tersungkur tadi.
      Kakek Asmawi dan Ujang berhenti dan terdiam sesaat. Semula Ujang ingin memarahi anak yang di tangannya tergenggam erat sebuah tongkat itu. Menyadari sesuatu yang tak biasa, Ujang menutup kembali mulutnya. Pandangan anak itu ... entahlah dia menatap ke arah  mana. Dua bola matanya bergerak ke kanan dan kiri di luar kendali, padahal Ujang tepat di depannya.
      Kakek Asmawi menekan telapak tangan Ujang, memberi tanda kalau Ujang harus menerima permintaan maaf anak tersebut.
      "I...i...iya, Gak apa-apa," balas Ujang tergagap.
      "Makasih ya, Kak. Tadi Tegar lagi main kejar-kejaran sama Davin soalnya. Jadi deh lari agak kencang. Eh, ternyata ada orang lewat," tutur Tegar, begitu dia menyebut namanya sendiri. "Maaf Kak, sepertinya Kakak orang baru ya? Kok Tegar baru dengar suaranya."
      "Betul Nak Tegar. Kenalkan ini cucu Kakek. Namanya Ujang. Dan saya ini Kakek Asmawi," sapa Kakek Asmawi mengulurkan tangannya.
      "Oh, Kak Ujang dan Kakek Asmawi. Senangnya bisa berkenalan."
      Tegar mengulurkan tangannya. Dia hanya mengira-ngira di mana posisi lawan bicara melalui suara yang didengarnya. Tak ada bayangan apa pun di depannya. Hanya satu warna yang mampu dinikmatinya. Hitam. Tak ada warna lain.
      Kakek Asmawi menerima uluran tangan itu. Senyum tulus anak remaja seusia cucunya tersebut telah membuat hatinya begitu tersentuh. Bahkan tenggorokannya nyaris tercekat. Pun begitu dengan Ujang. Dia sempat berpikir, apakah nasib Tegar lebih baik dari dirinya sehingga dia dapat tersenyum sebebas itu? Kemana senyumnya menghilang selama ini? Karena hanya ratapan yang mampu dia lakukan.
***
      Pertemuan yang mengesankan seumur hidup Ujang didapatkan hari itu. Masih terbayang dalam benakknya, Davin yang bernasib sama dengan Tegar, tak pernah menikmati indahnya warna dunia. Namun keduanya tampak tegar menerima kenyataan tersebut. Berbeda dengan keduanya, ada Sofia yang mampu menikmati beragam bentuk yang penuh warna namun dia tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Mulutnya hanya mampu mengoceh tanpa suara. Dunia baginya sangat sepi, tanpa kebisingan. Yang membuat Ujang lebih terkejut adalah Bunga. Gadis cantik berusia 6 tahunan ini adalah sosok yang jenius dan ceria, meskipun dia harus menggelindingkan tubuhnya ke sana ke mari demi untuk meraih benda yang diinginkannya dengan mulutnya. Tak ada kaki yang menemaninya berjalan. Juga tak ada tangan yang membantu dirinya mengambil sesuatu. Sungguh tragis. Namun Bunga dengan keterbatasannya itu telah melampaui teman-temannya. Berbicara dengan tiga bahasa asing dikuasainya dengan sangat fasih. Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang. Sebuah pencapaian yang luar biasa!
      Sungguh sebuah shock therapy yang mampu membangunkan jiwa Ujang dari keterpurukannya selama ini. Apalah dirinya? Bukan apa-apa dibanding nasib mereka! Belum seujung kuku. Mengapa harus diratapi?
      "Jang, bagaimana sekarang? Apakah kamu akan mengeluh lagi?" tanya Kakek Asmawi melirik cucunya sesaat setelah meninggalkan panti.
      Ujang menggelengkan kepala. Tak mampu berkata-kata. Diraupnya udara dari hidung lalu dihembuskan dari mulut.
      "Kek," ucapnya tercekat.
      "Ya?"
      "Terima kasih ... untuk hari ini."
      Sebuah pelukan di tubuh renta itu akhirnya membuka sebuah harapan baru. Ujang berjanji dalam hati, fisiknya kini tak akan lagi membentengi mimpi-mimpinya untuk menjadi manusia berguna. (YR)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI