"Kek, kenapa Ujang terlahir hitam, pesek, pendek dan juga pincang? Tidak seperti teman-teman main Ujang; tampan, tinggi, cantik dan mancung. Dan yang jelas mereka tidak pincang begini," keluh Ujang sembari memperlihatkan kedua kakinya yang tak sama panjang. "Tahu enggak Kek, kebanyakan dari mereka memanggilku Si Pincang."
      Ada tetes bening di sudut netra Ujang saat bicara. Ujang mencoba bertahan, namun tak dapat membendungnya. Tetes itu akhirnya tumpah.
      "Jang, dengarkan kakek baik-baik ya. Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Tampan atau tidak tampan, cantik atau tidak cantik semua sama di mata Tuhan."
      "Kasih sayang bagaimana, Kek? Dengan membiarkan Ujang dihina orang-orang?!"
      "Itu namanya ujian, Jang. Tuhan ingin tahu kamu itu sabar tidak."
      "Tapi Kek, Ujang tidak tahan hidup terus menerus dilecehkan orang. Ujang juga ingin dipuji, disanjung seperti yang lain."
       Kakek Asmawi tercekat. Dia dapat merasakan kepedihan cucu satu-satunya itu. Tujuh tahun menjadi ayah, ibu sekaligus kakek bagi anak remaja ini membuatnya begitu paham dengan penderitaannya. Tidak  mudah membesarkan anak disabilitas seperti Ujang ini. Kecelakaan maut telah memisahkan Ujang dengan kedua orang tuanya di usia dini. Meskipun Ujang selamat, namun cacat permanen pada kaki dan wajah membuatnya tak indah untuk dipandang. Kehidupan Kakek Asmawi yang jauh dari berkecukupan tak mampu memulihkan fisik Ujang menjadi lebih baik. Namun satu tekadnya, menempa sang cucu menjadi manusia tangguh.
      "Sudahlah Jang, tidak usah kamu dengarkan omongan orang. Biarkan saja. Kamu tahu, menghina fisik orang lain sama saja dengan merendahkan Tuhan," hibur Kakek Asmawi sambil mengelus-elus punggung basah di sampingnya. "Hmm, begini saja, kamu mau enggak Kakek ajak jalan-jalan?"
      "Kakek, kenapa sih mengalihkan pembicaraan? Aku tuh lagi kesel, Kek," ujar Ujang dengan bibir mengerucut.
      "Kakek tidak mengalihkan topik, Jang. Justru Kakek ingin membuatmu banyak bersyukur."
      "Maksud Kakek?"