Mohon tunggu...
Yanti Sriyulianti
Yanti Sriyulianti Mohon Tunggu... Relawan - Berbagilah Maka Kamu Abadi

Ibu dari 3 anak yang sudah beranjak dewasa, aktif menggiatkan kampanye dan advokasi Hak Atas Pendidikan dan Perlindungan Anak bersama Sigap Kerlip Indonesia, Gerakan Indonesia Pintar, Fasilitator Nasional Sekolah Ramah Anak, Kultur Metamorfosa, Sandi KerLiP Institute, Rumah KerLiP, dan Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan di Indonesia sejak 1999. Senang berjejaring di KPB, Planas PRB, Seknas SPAB, Sejajar, dan Semarak Indonesia Maju. Senang mengobrol dan menulis bersama perempuan tangguh di OPEreT.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orangtua di Antara Pilihan Risiko Kematian atau Menunda Anak Jadi Pintar

12 Desember 2020   11:41 Diperbarui: 12 Desember 2020   13:01 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duta Perubahan Perilaku lakukan edukasi di Perempatan samping Unisma 45|Dokumentasi pribadi

Neng nelengneng nelengnengkung

Geura gede gera jangkung 

Geura sakola ka Bandung

Geura babakti ka indung

Bandung memiliki berjuta pesona. Lagu nina bobo yang dinyanyikan indung melekat dalam benakku. 

Hai

Namaku Yanti Sriyulianti

Dari pengulangan katanya bisa ditebak aku berasal dari mana. Ya. Bandung. 

Satu lagi kebiasaan urang Bandung membuat akronim yang mengundang senyum kecil di wajah teman-temanku. "Bu Yanti pasti pernah belajar comdev di Filipina ya, "kata Haris Iskandar di sela-sela makan siang kami selepas memantau edukasi perubahan perilaku oleh duta dari mahasiswa di Kota Bekasi.Sekolah Berprogram Khas

Identifikasi nilai, norma, dan keyakinan keluarga pendiri yayasan calon mitra menjadi langkah awal konsultasi pengembangan konsep dan implementasi Pendidikan Anak Merdeka oleh Tim Litbang KerLiP. Menjelang usia ke-21 minggu depan, aku dan keluarga peduli pendidikan kembali pada khittah. Kali ini bekerja sama  dengan Lovely dan didukung penuh putri sulungku, Fitry. Tentu saja sahabat KerLiP lainnya terus berupaya tumbuh bersama demi kepentingan terbaik anak.

Rencana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Masa Kebiasaan Baru menjadi pusat perhatianku sejak diluncurkan Mendikbud. "Ada banyak orangtua yang mengaku khawatir mengijinkan anak mereka mengikuti PTM awal Januari besok. Namun mereka juga masih ragu memilih homeschooling, "ujar Lovely sebelum berangkat ke gereja pagi ini. Beberapa hari ini aku menginap di rumahnya untuk menyusun rencana kolaborasi baru kami.

Sebenarnya dalam 30 tahun terakhir ini, sekolah berprogram khas bermunculan di berbagai pelosok tanah air. Namun kemandirian dalam finansial membuat sekolah tersebut terlalu mahal bagi kebanyakan orang. 

Sahabat-sahabat KerLiP di Pokja Aspirasi Kempppa menjadi andalanku dalam percepatan sosialisasi dan pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) bagi guru dan tenaga kependidikan. Tujuan utama kami memastikan semua satuan pendidikan berkomitmen menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak melalui Sekolah Ramah Anak. 

Berbagai hal yang mengancam kelangsungan hidup anak terutama Covid19 memaksa orangtua berpikir dua kali. "Orangtua/wali di sekolah kedua anak kami menolak tatap muka. Lebih dari 80% tidak mengijinkan model transisi PTM seminggu sekali, "ujar Dini salah seorang ibu yang mengaku mendapatkan pencerahan setelah bergabung di OPEreT. 

Berbagi Peran

Mengajar anak untuk melampaui standar kompetensi minimal setiap mata pelajaran memerlukan guru profesional. Situasi darurat memaksa orangtua untuk memilih memasukkan anak dengan risiko kematian atau menunda anak jadi lebih pintar secara akademik. "Saya pernah berhenti sekolah setahun setelah peristiwa G30S PKI, Anda lihat saya tetap bisa menjadi Profesor, "kata Prof  dr Sujatmiko, dokter spesialis anak dalam kegiatan Asah Pena Menyapa. 

Pernyataan Prof Miko diperkuat Dokter Aman Pulungan, Ketua IDAI, dan kak Seto. Ketiganya meyakinkan para orangtua bahwa menunda anak menjadi lebih pintar adalah pilihan tepat. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa penundaan tersebut tidak menghentikan semangat ketiganya menoreh prestasi akademik yang tinggi di bidang masing-masing.

Sertifikat dari Dirjen GTK| Dokumentasi pribadi
Sertifikat dari Dirjen GTK| Dokumentasi pribadi
Berbagi peran antara guru dan orangtua terutama dalam pembelajaran life skill anak-anak difable adalah materi presentasi yang kusampaikan pada webinar Guru Belajar beberapa waktu yang lalu. Berbagi peran dapat dilaksanakan atas dasar rasa hormat antara guru, orangtua, dan anak. Ketiga pilar Sekolah Ramah Anak ini diperkuat dengan mempertemukan gagasan dan harapan secara intensif. 

Bagaimana cara berbagi peran yang baik? Kesepakatan adalah kata kuncinya.  Guru dan orangtua menjalankan primsip Belajar Dari Rumah (BDR), yakni mengembangkan pola komunikasi dan interaksi yang efektif.  

Penerapan prinsip BDR berikutnya, yakni penilaian kualitatif melalui pemberian umpan balik yang berguna dari guru dan menghindari penilaian kuantitatif dalam bentuk skor/nilai perlu didukung sistem pengisian raport kualitatif juga. Baik guru maupun orangtua perlu mendapatkan dukungan psikososial awal yang tepat seiring dengan meningkatnya kebutuhan dukungan psikososial awal  peserta didik.

Sudah semestinya Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat penyelenggara pendidikan membuka mata dan hijrah hati. Masa depan peradaban dunia membutuhkan anak-anak yang selalu gembira. Kejeniusan dilahirkan dari kegembiraan kata Thomas Amstrong. Ketakutan berlebihan tentang penurunan prestasi akademik anak tidak sebanding dengan risiko kematian yang mengancam kelangsungan hidup anak-anak kita jika PTM tidak dipersiapkan secara matang.

Jangan lupa bahagia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun