Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arisan Nasib Nan Melukai Karir

24 Februari 2018   07:41 Diperbarui: 24 Februari 2018   07:44 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar olah pribadi

Ia hanya diam, membiarkan saudaranya merangkai kata-kata untuk membagikan pahit karir yang membuatnya setiap hari harus berangkat ke tempat kerjanya sebelum shalat subuh. Jarak yang tidak matematis harus dilaluinya setiap hari melampaui kekuatan sabarnya sebagai lelaki. Pada rentangan jalan yang berlumpur seperti sawah, jalan bergelombang efek tarikan endrogen menjadi malapetaka  ketika sesar tanah bergerak turun, meninggalkan nganga Graben, dan jalan itu harus dilaluinya setiap hari. Tanpa jaminan asuransi keselamatan, tanpa perlindungan, dalam dua bulan dia merongsokkan dua buah motor trail yang kalah oleh buruknya jalan. Dia tidak lagi bisa memikirkan menyicil motor ketiga agar bisa bekerja pada bulan ketiga.

Patahan vertikal pada tanah yang dilaluinya ibarat dirinya. Dia masih ingat dengan jelas emua pegawai yang hendak naik pangkatnya terhampar pada relief-relief kamar kerjanya. Kemudian, mereka diciutkan oleh pemilihan siapa layak mendapatkan makam tertinggi sebuah jabatan pada sebuah sekolah kecil di desa. Pemilihan dimulai dengan cekikan upeti-upeti yang harus diserahkan kepada pimpinan di kecamatannya. 

Upeti itu dengan rakus bahkan hampir tidak mengenyangkan kemaruk jabatan raja kecilnya. Dia menyerahkan hampir semua nasib rekening beserta pinjamannya pada kepuasan pemungut upeti. Dia sangat tahu, masih jauh perjalanannya untuk menempati makam tertinggi yang dijanjikan bertahta kewibawaan di mata orang-orang desa. Dia sesungguhnya salah mengambil miqot, mengambil permulaan, dia menempuh semua ini bukan untuk memenuhi hasrat dirinya, tapi hasrat orang-orang yang selalu memajan-majankan dan mematut-matutkan dirinya sebagai orang terhormat dengan memiliki jabatan kecil.

Hampir habis seluruh darah keberaniannya untuk menaiki makam tertinggi, namun semua orang kembali mendorongnya dengan bisikan bahwa dia pantas berada di sana. Dia kemudian mengandalkan tenaga sisa bisikan untuk melanjutkan kemana nasib membawanya. Pada suatu hari, dia diminta datang ke pendopo kabupaten dimana telah duduk para pembesar. 

Dengan bergetar dia mengambil gulungan kertas yang disodorkan pembesar padanya. Semua yang membuka gulungan kertas, membuka nasibnya. Seorang Ibu menerima tugas makam tertinggi nan jauh dari suami dan anaknya. Seorang ayah mendapati tugas makam tertinggi jauh di ujung langit dimana dia tidak sanggup mendatanginya. Gulungan kertas itu mendatangkan chaos, kisruh dan kekacauan akut pada tatanan kepegawaian. Namun para pembesar itu abai pada semua kegalauan yang dialami pegawai-pegawai yang dipandang temeh-temeh di depannya.

Pembesar tadi hanya memberikan senyum kemenangan. Kemenangan atas kehebatannya menentukan nasib-nasib butiran hujan. Ia tidak memedulikan apakah hujan menjadi berkah, atau laknat. Ia telah usai menjalankan kuasanya untuk merobek-robek semua harapan para tamunya sesuai kepuasan nisbinya pada jabatan. 


'Saya hanya bisa menerima nasib ini,' kata saudaranya lirih. 'Saya telah terlanjur bersumpah untuk mengabdi pada anak-anak yang ada di negeri ini. Seburuk apapun penempatan saya, tidak mengurangi semangat saya untuk tetap bertemu tatap polos anak negeri ini. Sekalipun saya telah kehilangan sebagian besar harta, setengah keyakinan akan kejujuran, sepotong harap akan perubahan pada negeri ini. 

Saya akan menerima tata cara penempatan kerja nan musykil ini. Saya tidak mengerti kenapa tidak dilakukan penempatan kerja sesuai dengan dimana dia tinggal. Boleh saja tidak terlalu dekat dengan asal dimana dia tinggal, paling tidak ada toleransi jarak. Jangan sampai mereka yang dari ujung timur, bekerja di ujung barat dan meninggalkan keluarganya pula tanpa bisa minta maaf. 

Gulungan kertas berisi nama tempat kerja yang dibuat ibarat sedang arisan nasib, terlihat praktis, namun tidakkah terpikir kompleksnya masalah yang datang selanjutnya. Mengambil gulungan kertas pada arisan selalu berakhir bahagia, mengambil gulungan tanpa basis administrasi dan tata kinerja pegawai, bencana. Ibarat hujan, dia berubah dari rakhmat menjadi laknat.'

Hujan belum reda ketika ia sampai pada rumah saudaranya. Sepi melingkupi rumah panggung nan sederhana itu. Jejeran kuburan di bawah rumah itu menghadirkan kesunyian abadi. Ia berharap saudaranya masih hidup nyalinya dan tidak mengubur semua impiannya untuk terus mengabdi pada anak-anak negeri ini. Untuk sementara, ia hanya berdiri di depan rumah itu, memandang derai hujan tanpa menoleh pada sosok yang berdiri jauh darinya, yang sejak satu semester ini menguntit kemana dirinya pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun