Mohon tunggu...
Nurul Yamsy
Nurul Yamsy Mohon Tunggu... Penulis - .

Jika ucap tak lagi mampu berkata, biarlah kata yang mengungkap

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Dia Aku Belajar (Dari Dia Aku Belajar Tersenyum)

6 Juli 2020   08:35 Diperbarui: 6 Juli 2020   08:58 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


 
Dari dia aku belajar tersenyum

Apa sih istimewanya tersenyum. Apa juga untungnya tersenyum. Memang harus ya tersenyum. Banyak sekali pertanyaan hanya untuk satu hal tersebut. Padahal apa susahnya hanya menarik kedua sudut bibir ke atas, dan sudahlah tercipta seuntai senyum dari bibir kita. Tak butuh tenaga yang banyak, apalagi biaya yang banyak.

Dulu, aku akan tersenyum jika orang yang bertemu dan berpapasan denganku tersenyum lebih dahulu. Jika dia diam, maka akupun akan diam. Senyumnya kubalas senyum, dan diamnya kubalas diam pula. Itu biasa bukan?. Kadar ketidakpedulian atau lebih sering disebut cuek yang kumiliki mungkin cukup besar, hingga senyum pun sulit untuk kulakukan. Bukan sulit sebenarnya, malas saja untuk melakukannya.

Hingga suatu saat dia berujar padaku, "Jangan cemberut saja, senyum lah. Kalo ketemu orang senyum, disapa, yang ramah gitu looh".
Tentu saja langsung ku sanggah, "Males ah senyum ke mereka, orangnya aja gak ngenakin kok. Pernah juga senyum ke mereka, eh malah mereka biasa aja balesannya, kan jadi kayak senyum sendiri tuh", jawabku waktu itu.

Kita pernah bukan, tersenyum ke orang lain tapi balasan dia ke kita biasa saja, tak juga dibalas dengan senyum pula. Pasti pernah. Kalau kata orang jawa, pasti kita akan "mangkel" ke orang tersebut. Sebel, kesel, jengkel. Ngapain tadi senyum ke dia, mungkin itu juga sempat terlintas di pikiran kita. Secara tidak langsung kita telah menyesal telah senyum kepada seseorang.

"Senyummu di depan saudaramu, adalah sedekah bagimu" (Sahih, H.R. Tirmidzi no 1956).
Bahkan perihal senyum, agamapun sangat memperhatikan. Dikatakan dalam hadits tersebut bahwa senyum adalah sedekah. Bayangkan, senyum yang sebenarnya begitu mudah dilakukan itu dinilai sedekah olehNya.

Sampai beberapa waktu aku masih bertahan dengan kalimatku, senyum dibalas senyum dan diam dibalas diam.
Dia tak lagi menegurku dengan ucapan itu lagi, tapi dia menegurku lewat senyumannya yang selalu ia ciptakan untuk orang-orang disekitarnya. Selalu ia persempahkan walaupun juga bukan senyum yang ia dapatkan.

Dan akhirnya aku mencoba melakukan apa yang dikatakannya padaku dulu. Tersenyum, entah apapun balasan dari senyum yang telah tercipta. Tak ada hal buruk yang kudapatkan setelah melakukannya, yang ada hidup lebih terasa damai, tak ada permusuhan yang terjadi.  Jika senyum minta dibalas dengan senyuman pula, itu artinya kita masih pamrih dalam bersedekah.

Teruntuk senyumnya, yang selalu terngiang dalam ingatanku, terima kasih.

15 Dzulqo'dah 1441
Salam hangat
Fataah El-Suhay

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun