Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Capres di Bulan dan Capres Bulan-bulanan

3 Juni 2014   09:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:46 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14017359231315620420

[caption id="attachment_309475" align="alignnone" width="673" caption="Capres di Bulan dan Capres Bulan-bulanan (foto : ms/ayi)"][/caption]

Jokowi di bulan? Dulu kira-kira begitu, ketika namanya melambung dengan mobil SMK. Tapi setelah terkuak, itu mobil rakitan dengan onderdil impor  Cina, lalu Jokowi jadi bulan-bulanan rakyat sosmed. Diperparah mobil itu tak lulus uji emisi. Jokowi kembali jadi bulan-bulanan media. Baca : Mobil Kiat Esemka, Bukan Rakitan tapi Buatan - Tribun Jateng.

Dulu juga Jokowi di bilang hebat setinggi bulan, dan bisa bangun Jakarta, tapi setelah data BPS di publish, dan kemiskinan Jakarta meningkat, Jokowi kembali jadi bulan-bulanan media. Baca :  Kemiskinan DKI Meningkat, Sejak Jokowi Pimpin DKI http://kom.ps/AFfSjw

Belum lama ini, Jokowi juga dibilang mampu baca Al quran, dan bacaannya bagus-bagus saat salat zuhur di masjid PP Muhammadiyah. Sebenarnya tak soal, bacaannya calak atau tidak, tapi karena ini politik segmentasi yang garing, maka wajar Jokowi ditohok. Namun ketika Ketua PP Muhammadiyah (Din Syamsudin) Klarifikasi, bahwa bagaimana mengukur bacaan Jokowi, sedangkan salat zuhur di baca dengan suara “lirih?” Jokowi kembali jadi bulan-bulanan rakyat sosmed.

Artikelnya di harian KOMPAS Edisi 10 Mei 2014 pun membumbung anomali. Betapa tersanjungnya Jokowi, dengan tulisan revolusi mental di harian kelas kakap; KOMPAS. Lalu “masyarakat pembaca dibuatnya keki” setelah di hari yang sama artikel serupa di muat di harian SINDO dengan penulis Romo Benny Susetyo. Oleh masyarakat  pembaca dan orang-orang kampus, Jokowi ditengarai menjiplak. Ia bukan sumber ide revolusi mental. Kembali Jokowi jadi bulan-bulanan rakyat sosmed.

Masih hangat di memori kita, Jokowi berjanji menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Tapi belum kering tinta wartawan menulis janji itu, Kadishub DKI jadi tersangka bus impor berkarat. Publik ramai-ramai bercancut meneriaki, “Jokowi harus bertanggungjawab, karena ia penanggungjawab keuangan daerah. Masyarakat yang masih kritis dan sadar meminta Jokowi diperiksa otoritas hukum. Lagi-lagi Jokowi jadi bulan-bulanan media.

Dan baru kemarin, setelah Jokowi mengambil nomor urut capres/cawapres, ia bilang ; “Dan untuk menuju Kepada Indonesia yang harmoni yang penuh keseimbangan, pilihlah Nomor  : 2.” Sambutan Jokowi ini jelas-jelas mengandung ajakan. Sementara masa kampanye belum dimulai. Jokowi curi start. Lagi-lagi Jokowi jadi bulan-bulanan media. Jokowi ditertawai, bahkan ada wartawati yang bocor suaranya terdengar di tv bilang, “Ini orang kok sudah kampanye sih?”

Tadinya orang-orang menghela asanya ke bulan. Dan Meletakan Gubernur DKI separuh waktu itu sebagai presiden imajinasi. Tapi… setelah tersingkap sejumlah anomali, lalu anggapan itu  tercecer ke tanah. Dari “aku ora opo-opo, menjadi “aku ora sudi”.  Sebuah pernyataan yang tak saja simbol tapi isyarat kuat, bahwa Jokowi mengalami penolakan masif.

Bayangkan, begitu cepat penolakan berlangsung. Begitu cepat Jokowi tereleminasi. Dan publik tak seragam menerimanya, seperti diawal-awal ia muncul.

Mereka yang ketulung taklid saja yang menyembah berhala pencitraan tanpa kritik. Beda dengan Prabowo, ia diterima dan diawali dengan kritik dan penolakan. Lalu diterima kembali. Bukan karena personalitasnya, tapi lebih pada nilai dan cara mengobjektifikasi nilai. Contoh kecil, lihatlah Prabowo dalam sambutannya pasca pengambilan nomor urut. “Ia lebih ber-takjim pada rakyat. Bukan Jokowi yang tak tahan dan nyelonong meminta dicoblosi.

Dalam sambutannya di Rapimnas NASDEM, Jokowi bilang “mari kita melakukan diferensiasi”. Tapi apa yang dia tawarkan atas diferensiasi itu? Cuma baju kotak-kotak atau baju putih. Cuma urusan ia (Jokowi) pake baju kotak-kotak dan JK pake baju putih. Bukan diferensiasi nilai, tapi sebatas dan berhenti pada simbol. Inikah presiden kita nanti? Presiden yang daya jangkau pikirnya sebatas pada simbol?

Akhirnya diferensiasi baju kotak-kotak yang dipikirnya, meyakinkan publik, bahwa ia sesungguhnya terkotak dalam kotak diferensiasi yang dibuatnya. Ia cuma diferensiasi simbol an sich yang berwujud. Ada yang bermain dan membolak-balik personifikasi kotak kosong itu.

Siapa yang membayangkan, bahwa menangnya Jokowi sebagai gubernur DKI, adalah kemenangan simbol? Bukan kemenangan nilai. Nilai-nilai ke-amanahan seorang pemimpin? Sudikah rakyat, bila peristiwa simbolik kering nilai itu terulang kembali? “Aku ora sudi.”


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun