Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok dan Kekejaman Verbal

19 Maret 2016   23:09 Diperbarui: 19 Maret 2016   23:47 3094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Inilah transkrip kata-kata Ahok saat live di Kompas tv 18 Maret 2015 : “Gua bukain lu t**k-t**k semua itu seperti apa. nggak apa-apa, biar orang tau emang t**k gua bilang, kalau bukan t**k apa? Kotoran. Silakan. Emang t**k namanya kok. Emang taik, mau bilang ap, TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya.”

Masih ingatkah kita tentang berampus-nya Ahok di tv dengan kata-kata tak pantas itu? Marah diiringi kata-kata kotor itu menyembul tak karuan dari mulut Ahok ketika live di Kompas tv edisi 18 Maret 2015. Kepada siapa sebenarnya kata-kata kotor itu disasarkan? Kepada siluman anggaran DPRD? Seakan tak bisa ditahan dan mutlak benar, sebegitu bedegong Ahok di acara Kompas tv itu.

Memangnya sudah berapa puluh oknum DPRD DKI Jakarta yang sudah dipenjarakan Ahok dengan tudingan siluman anggaran? Kalau Ahok punya dua barang bukti, sebagai delik aduan ke KPK, kenapa puluhan anggota DPRD belum juga menjadi tersangka? Kenapa?

Boro-boro mendekam di bui karena korup? Dus Lulung dengan standar wawasan pas-pasan sebagai mantan anak jalanan, justru dengan lugunya mengaku, popularitasnya tertolong (meski negatif) dengan Ahok yang acap kali mendidih vis a vis dengannya. Bayangkan, Ahok yang katanya pintar, tapi selalu berbusa-busa dan gaduh dengan Lulung; yang konon cuma mantan preman; bekas pemulung. Bukankah dengan begitu, Ahok setali tiga uang dengan Lulung?  

Meski berulang-ulang diperingatkan host Kompas TV saat live, namun kata-kata (maaf) “taik yang disasarkan ke DPRD DKI,” keluar berulang-ulang dari dari dalam congor Ahok. Mestinya Kompas TV langsung memberhentikan acara itu, karena sudah tak pantas ditayangkan.

Oleh sebahagian orang Indonesia yang masih punya tata krama, mereka yang masih merawat etika komunikasi, menyumbat telinganya dengan dua jari telunjuk, atau menutup dua bola matanya dengan 10 jari. Anak kecil yang mungkin sedang menyaksikan Kompas TV dengan ayah atau ibunya; disuruh masuk kamar, karena umpatan-umpatan sang gubernur Jakarta itu, sama sekali tak mendidik, tak beradab apalagi etis.

Barikan saya satu saja alasan, untuk menoleransi perangai buruk Ahok itu. Pada batas mana ketidakberadaban Ahok itu menjadi bisa dibenarkan? Bagi mereka yang buta dan tuli, mengunci nurani dan budi pekerti, lantas menjadikan ketidakberadaban Ahok itu menjadi begitu permisif, meski jelas-jelas menginjak-injak kepatutan dan kepantasan dalam bertutur. Apalagi ia seorang pemimpin.

Rasanya saya tak perlu menyekolahi mulut Ahok, karena ia pun tahu, tugas pemimpin adalah mengedukasi rakyatnya dengan bijaksana. Menanamkan nilai-nilai peradaban, etika dan budi pekerti. Dan nilai-nilai etika itu, menjadi suatu kohesi sosial, yang mengonstruksi masyarakat dan menjadi elan peradaban. Bukan sebaliknya, merobohkan nilai-nilai social etic, menghembuskan hawa negatif penuh amarah, mendidik warga menjadi sangar, keras dan culas.

Masih percayakah kita pada pemimpin yang acap kali mendemonstrasikan ketidakberadaban di ruang publik? Berikan saya satu saja alasan, apakah pembangunan adalah suatu konsep yang terpisah dari pembangunan kultur manusia? Termasuk keberadaban? Bukankah Pembangunan mengintegrasikan peradaban manusia, termasuk nilai-nilai etik sebagai elan sosial? Berikan saya satu saja alasan, untuk membenarkan ketidakberadaban Ahok itu !

Pada 17 Desember 2015 di depan Balai Kota Jakarta, seorang ibu pengguna KJP dituduh maling berulang-ulang oleh Ahok, “ibu maling, ibu maling, saya penjarakan ibu.” Semprotan-semprotan Ahok yang kasar itu, berulang-ulang disampaikannya depan kamera wartawan. Bayangkan, mental anak dari si ibu yang dimaki-maki Ahok itu? Bagaimana perasaan suaminya? Atau keluarga besar dari si ibu? Mungkin saja ketika anak dari si ibu itu ke sekolah, lantas ia diteriaki “anak maling” oleh teman-temannya. Berpikirkah Ahok?

Dari sudut pandang aturan (Perda DKI Jakarta), jelas si ibu tak boleh menguangkan KJP. Dalam sudut pandang ini, Ahok 100% benar. Kendatipun demikian, Ahok sebagai gubernur, bisa menjelaskan dengan cara baik-baik, tak perlu memaki-maki, apalagi dengan kekerasan verbal seperti itu. Tentu Ahok bisa menjelaskannya baik, tak perlu terbakar dan meledak seperti itu.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun