BPS pada tanggal 1 Agustus 2025, merilis data inflasi. Data yang ditunggu-tunggu halayak, wabil khsusus para pengambil kebijakan. Ada dua cerita dalam data IHK BPS, inflasi merangkak naik, namun masih dalam batas aman (dibawah asumsi makro 2025)
Dalam asumsi Makro 2025, batas bawah dan atas inflasi adalah 2,2% - 2,6%. Dengan inflasi secara year on year di bulan Juli 2025 sebesar 2,37%, artinya IHK Masih terkendali. Inflasi menandakan ekonomi bergerak, namun jangan sampai kepanasan. Sebab itulah penting mengendalikannya.
Beras yang harum di meja makan bulan ini membawa dua cerita. Dari sawah, ada senyum lebar petani yang menikmati harga gabah dan jagung yang naik, mengerek Nilai Tukar Petani (NTP) ke level tertinggi tahun ini.
Dari kota, ada helaan napas pedagang warung nasi yang harus menambah modal karena harga pangan ikut merangkak. Inflasi Juli 2025 masih jinak di angka 2,37%, di bawah asumsi APBN, tapi aroma senyum dan perih kini samasama hadir di dapur Indonesia.
Inflasi pangan naik karena harga gabah dan jagung di level petani ikut melonjak dan itu juga mengerek NTP naik. IT (indeks harga yang diterima petani) melonjak, sedangkan IB (indeks harga yang dibayar petani) naik tipis.
NTP Juli 2025 pun berada di 122,64 atau naik 0,76% dibanding bulan sebelumnya. Subsektor tanaman pangan naik 1,60%, hortikultura melonjak 6,51% berkat cabai dan tomat. Petani mendapat momentum dari regulasi harga pemerintah terhadap gabah dan jagung.
Di balik lonjakan harga jual gabah dan jagung itu, pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan ini memang melindungi petani, tapi ikut mendorong inflasi pangan melalui komoditas volatile seperti beras dan jagung.
Inflasi volatile food Juli 2025 tercatat 3,82% (andil 0,62), sedangkan inflasi inti hanya 2,32% (andil 1,49) dan inflasi yang diatur pemerintah 1,32% (andil 0,26). Inflasi umum 2,37% masih di bawah asumsi 2,5% APBN 2025, artinya ruang fiskal pemerintah tetap aman.
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah cermin kesejahteraan petani rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan yang dibayar petani (Darwanto, Economica 2005:129). Jika harga yang diterima petani tumbuh lebih cepat dari yang mereka bayar, kesejahteraan meningkat. Itulah yang terjadi bulan ini: IT naik 1,18%, IB naik 0,42%. Petani tersenyum, tapi konsumen kota merasakan perih di dompet.
Dalam teori ekonomi pertanian, fenomena ini disebut agflation: inflasi pangan yang bergerak lebih cepat dari inflasi umum karena harga komoditas pertanian terdorong oleh kebijakan atau permintaan (Investopedia, 2007).
Menurut teori price transmission (Congressional Research Service, 2017:1718), harga di sawah tak selalu sepenuhnya sampai di kota. "Farm share" dalam harga konsumen sering kecil karena ada rantai pedagang, biaya logistik, dan margin distribusi. Tapi tetap saja, pembeli beras dan pedagang nasi di kota merasakan kenaikan yang nyata.
Kita bisa membayangkan nasi di meja makan kita melepas aroma dugaan bahwa petani tengah menikmati sedikit lebih banyak dari hasil panennya NTP mereka naik, bobot fiskal masih aman,
Namun rakyat kota sedikit meringis karena harga beras dan jagung ikut naik. Jika inflasi pangan terus tinggi, kuncinya bukan menekan harga petani, tetapi menjaga jalur distribusi, memperkuat operasi pasar, dan memastikan cadangan pangan siap diturunkan kapan saja. Dengan begitu, senyum di sawah bisa tetap bertahan tanpa membuat perih di meja makan terlalu lama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI