Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Matematika APBN Sri Mulyani VS Kader PDIP

25 Juli 2025   08:51 Diperbarui: 26 Juli 2025   16:47 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: istimewa)

Sri Mulyani sontak membantah, "seakan-akan ia membiarkan anggaran Pendidikan 20% itu tak tercapai. Padaal, menurut SMI tak begitu. Realisasi mandatory 17% atau 19% itu dinamika. Cara mendisiplinkan fiskal. Lebih teknis lagi soal perdebatan teknis angka.

Jadi kalau angka absolut belanja lain besar dalam total belanja, otomatis persentase pengeluaran untuk Pendidikan mengecil. Angka absolut untuk belanja Pendidikan itu bilangan pembilang (numerator), sementara total belanja itu penyebut (denominator). Jadi kalau angka absolut penyebutnya makin besar, maka persentase mandatory Pendidikan makin kecil---meskipun anggaran Pendidikan tetap atau meningkat

Kalau total belanja negara makin besar karena belanja lain-lain membengkak (misalnya belanja untuk proyek mercusuar, subsidi energi, atau bansos politik), maka persentase untuk pendidikan bisa turun, meskipun jumlah uang yang diberikan untuk pendidikan tidak turun atau bahkan naik.

Rabu, 23 Juli 2025, di komisi XI mendidih. Salah satu anggota DPR, pak Dolfi menyoal anggaran Pendidikan yang tak sampai 20% dari belanja APBN sejak 10 tahun terakhir. Menkeunya masih sama---Sri Mulyani Indarwati (SMI). Perkara mandatory spending untuk Pendidikan tak sampai 20%, ya urusan SMI juga. Karena ia masih Menkeu, di era Prabowo

Misalnya, pada tahun 2024 pemerintah mengalokasikan Rp550 triliun untuk pendidikan dari total belanja negara Rp2.500 triliun. Artinya, porsi pendidikan mencapai 22 % dari total anggaran.

Namun di tahun berikutnya, alokasi untuk pendidikan memang naik menjadi Rp570 triliun. Sayangnya, pada saat yang sama total belanja negara membengkak menjadi Rp2.900 triliun. Akibatnya, persentase anggaran pendidikan justru turun menjadi hanya 19,66 %.

Jadi saya mau bilang, marah boleh, tapi emosi jangan, pada akhirnya kita membawa masalah politik anggaran ini menjadi perdebatan matemika anak kelas SMP. Yang satu merasa tak bersalah, satunya ngotot. Idealnya konstitusi mewajibkan anggaran Pendidikan 20% dari belanja negara.  

Saya melihatnya ini sebagai angka-angka yang sederhana, tapi rumit, karena angka itu dilihat dengan review politik. Pak Dolfi Itu PDIP. Ngegas sedikit tak apa, asalkan tidak salah secara konsep. Rasio 20% untuk Pendidikan itu bisa naik pun bisa turun sesuai dinamika belanja pemerintah  

Jadi angka 20% adalah batas minimum proporsional, bukan angka mutlak. Secara matematis, itu adalah persentase hasil dari membagi belanja pendidikan (pembilang) dengan total belanja negara (penyebut). Maka, jika total belanja (penyebut) membesar, belanja pendidikan juga harus naik agar tetap memenuhi ambang 20%.

Ketentuan alokasi minimal 20% untuk anggaran pendidikan bukanlah angka absolut, melainkan rasio yang bergantung pada total belanja negara. Secara matematis, ini berarti semakin besar total belanja (penyebut), maka belanja pendidikan (pembilang) juga harus ikut naik agar proporsinya tetap berada di angka 20%.

Tapi masalahnya tak sesederhana itu. APBN dalam realisasinya, selalu berselancar diatas gelombang ekonomi. Misalnya, saat ekonomi lesu, kebijakan fiscal ekspansif dilakukan. Mulai dari subsidi untuk rakyat kecil hingga pelaku usaha mikro kecil

Saat seperti itu, arah kebijakan tertuju pada stimulus untuk menjaga daya beli. Tujuannya menjaga konsumsi tetap tumbuh. Karena salah fungsi APBN Adalah stabilisasi ekonomi. Kalau sudah seperti ini, akan berdampak pada rasio komponen lain---seperti untuk Pendidikan.

Misalnya, ketika total belanja negara tahun 2024 sebesar Rp2.500 triliun, maka alokasi pendidikan minimal harus Rp500 triliun untuk memenuhi batas 20%. Namun, jika di tahun berikutnya total belanja negara meningkat menjadi Rp3.000 triliun, sementara belanja pendidikan tetap Rp500 triliun, maka persentasenya turun menjadi hanya 16,67%. Artinya, meskipun nominal pendidikan tidak berkurang, secara hukum dan konstitusi, alokasinya tidak lagi memenuhi ketentuan.

Agar tetap sesuai dengan amanah 20%, belanja pendidikan dalam contoh tersebut harus ikut naik menjadi Rp600 triliun. Inilah sebabnya mengapa memahami angka 20% sebagai rasio proporsional, bukan sekadar besaran uang, sangat penting agar kebijakan tidak menyesatkan secara matematis maupun publik.

Pertanyaan penting, kalau selisi anggaran Pendidikan dari dari yang seharusnya dan factual itu puluhan triliun, Lebih dari itu, toh dari tahun ke tahun, realisasi anggaran Pendidikan di Kementerian teknis terkaitnya selalu rendah? Mandatory 20% yes, asalkan belanjanya pun harus produktif.

Apalagi dalam kenyataannya, ada puluhan triliun dana Pendidikan yang di tempatkan di pos pembiyaan dalam neraca APBN. Sementara Mahkamah Konstitusi menetapkan anggaran Pendidikan di tempatkan dalam nomenklatur belanja. Bukan pembiayaan. Seakan-akan yang menyebabkan defisit APBN adalah dana Pendidikan, padahal komponen penyebab deficit banyak.

Pada akhirnya bila dana Pendidikan di tempatkan sebagai belanja, direncanakan dengan baik, tentu kualitas realisasinya jauh lebih baik. Alhasil mandatory 20% untuk Pendidikan tersebut dapat mewujudkan cita-cita Pendidikan per se

  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun