Jika kita menengok grafik neraca gula Indonesia 2015--2016, gambaran besarnya begitu gamblang. Produksi gula dalam negeri stagnan, bahkan cenderung menurun
Dari sekitar 2,5 juta ton di tahun 2015 menjadi hanya 2,3 juta ton setahun setelahnya. Sementara itu, konsumsi justru terus meningkat: dari 2,9 juta ton menjadi hampir 3 juta ton.
Ketika dua kurva ini menjauh, satu garis lain melonjak: impor. Tahun 2016, impor gula melonjak drastis hingga 4,5 juta ton, naik lebih dari satu juta ton dibanding tahun sebelumnya.
Grafik yang sama juga memperlihatkan simulasi harga gula jika impor tak dilakukan. Tanpa pasokan luar negeri, harga gula diperkirakan melonjak dari Rp12.000 menjadi Rp17.510 per kilogram, kenaikan lebih dari 42 persen.
Bukan hanya akan memicu inflasi pangan, tetapi juga membebani rumah tangga kecil secara langsung dan brutal.
Di balik keputusan membuka kran impor gula saat itu, publik kini mulai mengulang narasi dengan tafsir yang menyudutkan.
Namun mereka yang membaca data dengan jernih, akan memahami bahwa yang disebut "izin impor" bukan semata keputusan teknokratik tunggal, apalagi keputusan yang sembrono.
Tom Lembong, Menteri Perdagangan kala itu, mengeluarkan izin impor gula kristal mentah (GKM) dan gula rafinasi bukan karena kelengahan, tetapi justru karena kecermatan membaca potensi krisis harga.
Seluruh langkah tersebut dikoordinasikan melalui rapat lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian dan Kemenko Perekonomian. Izin dikeluarkan berdasarkan rekomendasi yang disepakati, bukan tiba-tiba hadir sebagai "surat sakti".
Jika kita tarik data yang lebih dalam, pada Mei 2015 pemerintah sudah menerima laporan potensi defisit gula, terutama untuk kebutuhan industri makanan dan minuman yang pertumbuhannya agresif.