Saya pernah bertanya kepada seorang ibu di desa di Pandeglang. Namanya Bu Nani. Ia menjual beras ke warung dengan harga Rp 9.000 per kilo, lalu membelinya kembali dalam bentuk nasi uduk di sekolah anaknya dengan harga Rp 6.000 per bungkus (sekitar 150 gram nasi).
Ia tidak pernah melihat koperasi selama lima tahun terakhir. Yang ia lihat adalah kartu BPNT, dan sembako yang dikirim bulan sekali.
Tapi saat saya mengabari bahwa akan ada koperasi baru, dan dia bisa menyimpan gabah di sana sambil mendapat uang muka, matanya berbinar.
"Nanti uangnya langsung ke HP saya?" tanyanya.
Saya bilang, bukan HP ibu. Tapi ke rekening koperasi. Dan ibu anggota koperasi.
Ia tampak bingung. Tapi juga penuh harapan.
Itu yang tidak bisa ditulis dalam proposal proyek.
Bahwa koperasi bukan hanya soal logistik, tapi soal psikologi sosial. Soal percaya. Soal "kita".
Dalam teori sosiologi ekonomi, James Coleman menyebutnya sebagai "social embeddedness": koperasi hanya bisa berjalan jika relasi sosial dan kepercayaan antarpihak terbangun (Coleman, Foundations of Social Theory, 1990, hlm. 302).
Zulkifli Hasan dan timnya tampaknya mengerti itu. Maka selain membentuk koperasi, mereka juga menyiapkan pelatihan SDM lokal, pendampingan dari BPSDM Kemendesa, dan kurikulum keuangan dasar dari LPDB.