Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sri Mulyani dan Bayang-bayang Danantara

4 Juli 2025   13:13 Diperbarui: 4 Juli 2025   16:14 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Danantara (Sumber: AFP/Bay Ismoyo)

Ia mantan petinggi Bank Dunia, terbiasa bicara dengan metafora global. Tapi kali ini, nada suaranya mengeras. Ia seperti tahu bahwa di balik angka-angka itu, tersembunyi potensi badai fiskal.

Dalam teori ekonomi publik, crowding out bukan sekadar ancaman teknis. Ini soal kepercayaan. Menurut Richard Musgrave dalam The Theory of Public Finance (1959, hlm. 210), ketika sektor publik terlalu besar, "private initiative cedes space,"inisiatif swasta kehilangan tempat.

Dan dalam sistem pasar bebas, kehilangan tempat artinya kehilangan gairah. Tapi bukan hanya itu. Ada satu kutipan tua yang justru relevan kembali hari ini.

John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936, hlm. 164) menyatakan: Pemerintah sebaiknya masuk hanya ketika investasi swasta melemah. Kalau semua digerakkan pemerintah, maka kapitalisme kehilangan daya saingnya.

Maka ketika Danantara menjadi "mesin investasi negara", pertanyaannya bukan cuma: seberapa cepat dia berlari? Tapi juga: siapa yang akan tersingkir dari lintasan?

Kita sudah pernah lihat efek seperti ini. Di masa Orde Baru, saat BUMN jadi alat kekuasaan fiskal, swasta tidak tumbuh karena kalah kuat. Dan sekarang, Danantara, meski modern dan transparan, membawa potensi pengulangan itu.

Apalagi, seperti pengakuan Sri Mulyani: "Dividen BUMN yang Rp80 triliun kini sudah masuk Danantara." Hasilnya? Target PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) langsung longsor.

Dari target Rp513,6 triliun, kini yang realistis hanya Rp477,2 triliun. Defisitnya: Rp36,4 triliun. Itu belum termasuk risiko fiskal jangka panjang.

Kalau Danantara gagal menarik swasta, maka negara akan membiayai investasi dengan utang. Dan semua orang tahu, utang itu tidak gratis.

Ada satu sisi yang belum banyak dibicarakan publik: apakah Danantara punya legitimasi politik dan teknokratik untuk menentukan alokasi investasi strategis? Kita tahu BI diawasi DPR.

Kita tahu APBN disetujui dalam Sidang Paripurna. Tapi Danantara? Masih remang-remang. Apakah dia tunduk pada kontrol fiskal? Atau ia jadi entitas setengah-swasta, yang bertanggung jawab hanya pada hasil, bukan proses?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun